Mataram (NTBSatu) – Laki-laki lansia berumur 77 tahun, Ida Made Singarsa alias IMS mengikuti proses hukum panjang hingga penahanan lantaran terlaporkan kasus pidana oleh Pemprov NTB. Laporan itu atas dugaan pemakaian surat palsu berupa kwitansi pinjam pakai.
Laporan pidana terhadap IMS muncul setelah dia mengajukan gugatan perdata. Saat itu iamenang atas tanah yang menjadi bagian Kantor Bawaslu NTB dan Gedung Wanita.
Tim Kuasa Hukum Perdata IMS, I Made Suartha bersama Jono G Nugroho menerangkan, gugatan perdata atas tanah seluas 37.000 meter persegi itu, sebelumnya milik Ida Made Maregeg, ayah IMS.
Berdasarkan dokumen milik IMS, tanah itu kemudian dipinjam-pakai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Barat (saat ini Pemprov NTB) sejak 1964.
“Kasus perdata ini kemudian teregister pada 2 September 2020 di Pengadilan Negeri Mataram, dengan amar putusan gugatan menolak seluruhnya. Kemudian, kami ajukan banding di 15 September 2020, dengan amar putusan mengabulkan gugatan seluruhnya,” jelas Suartha, 23 September 2024.
Atas putusan banding itu, Pemprov NTB kemudian mengajukan kasasi pada 18 Desember 2020 dan Peninjauan Kembali pada 2023, tapi pengadilan menolaknya. Atas proses tersebut, eksekusi atas lahan itu sebelumnya akan terlaksana pada 27 November 2023.
“Waktu itu, penyerahan objek sengketa dengan eksekusi damai, tapi khusus untuk gedung Bawaslu tertunda penyerahannya sampai 31 Desember 2024, dengan alasan ada pemilu. Ada surat kesepakatan antara pemohon dengan Bawaslu,” ungkap Suartha.
Dipanggil Polda NTB
Setelah eksekusi atas lahan itu akan berjalan, Pemprov NTB justru melaporkan IMS atas dugaan pemakaian surat palsu. Sehingga, penyidik Polda NTB memanggil IMS untuk menjalani penyidikan sejak Juni 2023.
Setelah itu, IMS harus menjalani penahanan oleh penuntut umum di Lapas Kelas IIA Lombok Barat sejak Mei 2024.
Atas penahanan itu, Tim Penasihat Hukum IMS, Usep Syarif Hidayat menilai ada upaya memaksa hukum. Menurutnya, peristiwa yang terjadi pada kliennya adalah tindakan kriminalisasi oleh pemerintah dan pihak terkait. Terlebih, tuduhan pemakaian surat palsu yang Pemprov NTB ajukan pada IMS tidak terbukti.
Usep menjelaskan, dalam kasus ini IMS yang kurang mengerti hukum dan tidak memiliki kemampuan baca tulis. Atas saran beberapa pihak telah membuat perjanjian ikatan jual beli di hadapan notaris. dengan pihak ketiga atas nama Dr. Hamdani pada Juli 2019.
Selanjutnya, Dr. Hamdani yang menggunakan surat-surat milik IMS untuk melakukan gugatan perdata sesuai perjanjian di notaris.
“Karena itu, yang menggunakan surat-surat atau dokumen adalah Dr. Hamdani, bukan Pak IMS,” ungkapnya.
Pihaknya pun mengaku heran atas laporan pidana dari Pemprov NTB itu dapat terteruskan hingga IMS menjalani penahanan. Mengingat atas tuduhan pemakaian surat palsu, dalam Peraturan Perundang-undangan telah mengatur pembuktian surat palsu harus memiliki bukti uji forensik.
Apalagi, dalam kasus ini surat pembanding yang terpakai sebagai acuan untuk memastikan keaslian kwitansi yang terduga palsu juga tidak menjalani uji forensik. Sehingga, Usep merasa perlu untuk mempertanyakan hal itu juga.
Karena alat bukti maupun surat pembanding tidak teruji keasliannya, maka suatu hukum pidana menurut Usep harusnya tidak boleh diterapkan ke seseorang, dalam hal ini ialah IMS.
“Kami menilai dasar Penuntut Umum dalam menelaah unsur barang bukti palsu atau dipalsukan sangat prematur dan tidak berdasar kepada penafsiran hukum secara benar, dan hal ini jelas merupakan penafsiran hukum yang sangat menyesatkan,” tandasnya.
Tanggapan Pemprov NTB
Sementara itu, Kabiro Hukum Setda Pemprov NTB, Lalu Rudy Gunawan selaku pihak yang melayangkan gugatan pidana pada IMS itu menyebut pihaknya sampai saat ini masih menunggu putusan pengadilan. Pihaknya optimis dugaan penggunaan surat palsu itu akan terbukti.
“Persidangan bukti-bukti lengkap. InsyaAllah terbukti,” ujarnya singkat. (*)