Mataram (NTB Satu) – Kasus kekerasan seksual pada anak di Provinsi NTB terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, kasus kekerasan seksual pada anak di tahun 2020 sebanyak 363 kasus, sedangkan pada tahun 2021 bertambah menjadi 462 kasus.
Sementara untuk jumlah kasus di tahun 2022 belum bisa diketahui pasti jumlahnya. Namun begitu, dari banyaknya laporan yang masuk di kepolisian, dapat tergambar bahwa kasus semacam ini masih tinggi terjadi di tengah masyarakat.
Tingginya angka kasus tersebut dibenarkan Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan saat dihubungi NTB Satu. Ia menjelaskan meski sudah ada beberapa upaya dari pemerintah dalam menekan angka kasus tersebut, namun kasus kekerasan seksual pada anak akhir-akhir ini terus terjadi. Menurutnya, tingginya kasus kekerasan seksual tersebut disebabkan adanya gap atau kesenjangan.
“Kesenjangan yang dimaksud yakni pertama sosialisasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) masih sangat minim. Kemudian di dua tahun belakangan, penganggaran di daerah mengalami persoalan tersendiri, terutama untuk program penanganan masalah pada anak,” jelas Sukran, Kamis 24 Maret 2022.
Sampai hari ini pemerintah sudah membentuk beberapa Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) di beberapa Kabupaten/Kota, diantaranya Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Kota Bima dan Kota Mataram. “Jadi sebaiknya tidak sampai di situ, kedepan harus diimbangi dengan SDM yang berkualitas,” ucapnya.
Menurut Sukran, permasalahan kekerasan seksual pada anak muncul karena beberapa alasan diantaranya faktor ekonomi, broken home, serta orang tua yang meninggalkan anaknya bekerja di luar negeri. Sehingga pengasuhannya menjadi kurang baik.
“Pada intinya ada pada pengasuhan keluarga yang menjadi persoalan utama. Jika pengasuhan anak itu baik, jadi anak akan lebih waspada dengan indikasi kasus kekerasan yg akan menimpa dirinya,” sambungnya.
Dari beberapa kasus yang muncul akhir-akhir ini, menurut catatan LPA NTB, Sukran mengatakan para pelakunya sering kali adalah orang terdekat dari korban, seperti pacar, tetangga, teman bahkan anggota keluarga dari korban sendiri. Untuk itu LPA NTB berharap kedepan adanya penguatan kapasitas terhadap kelompok-kelompok pemerhati anak mulai dari desa sampai dengan tingkat atas.
“Kami punya tim khusus untuk mengawal kasus ini, ada bantuan hukum dan tim psikolog LPA. Sejauh ini juga LPA bekerja sama dengan kepolisian dalam upaya pemulihan psikologi pada anak, namun yang masih menjadi PR kita adalah bagaimana menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak ini agar ada efek jera,” pungkasnya. (MIL)