Mataram (NTB Satu) – Setelah letusan Gunung Semeru, Kabupaten Malang dan Lumajang Jawa Timur 4 Desember 2021, kegetiran publik mulai melirik ke gugus gunung api lainnya di Indonesia. Termasuk Gunung api aktif, Rinjani di Pulau Lombok, Provinsi NTB.
Agar tidak memicu kekhawatiran apalagi panik, ada baiknya simak penjelasan ahli geologi NTB, Kusnadi.
Ketua Pengurus Daerah (Pengda) Ikatan Ahli Geologi (IAGI) NTB ini juga mengaku mendapat banyak pertanyaan yang sama. Hubungan antara erupsi Semeru dengan rentetan potensi erupsi lainnya termasuk Rinjani.
Mengawali penjelasannya, ia menyebut erupsi Semeru saat ini adalah dampak aktivitas harian pada gunung tersebut.
Oleh karena itu sampai dengan kejadian letusan awan panas guguran kemarin, status Semeru adalah Level II atau Waspada.
“Yang artinya masyarakat hanya boleh melakukan aktivitas terbatas pada zona bahaya III dan II yang berpotensi awan panas, lontaran batu pijar, lava dan gas beracun dan belum diwajibkan untuk mengungsi,” kata Kusnadi mengawali penjelasannya.
Setelah ada pertanyaan, bagaimana dengan Rinjani, apakah akan terjadi letusan seperti Semeru?. Dijelaskannya, Rinjani secara status sama dengan Gunung Semeru, yaitu Level II atau waspada.
Morfologi Rinjani
Sebelum langsung menjelaskan soal aktivitas gunung Baru Jari yang ada di Rinjani, ia mengajak untuk membahas soal morfologi atau proses terbentuknya Gunung Rinjani.
Gunung Rinjani sendiri di bagian tengahnya membentuk mangkuk besar yang disebut sebagai kaldera, dengan diameter mencapai 7 kilometer. Ini merupakan hasil letusan dengan skala VEI 7,5 pada abad ke-7 yang disebut sebagai letusan Samalas.
Ditengah-tengah Kaldera tersebut, terbentuk gunungapi baru yang disebut Gunung Baru Jari.
“Artinya apabila terjadi letusan digunung Baru Jari, maka awan panas atau lontaran batu pijar, lava dan gas beracun hanya akan tersebar didalam kaldera sehingga tidak keluar ke lereng luar Rinjani,” paparnya.
Aktivitas dan Sejarah Letusan
Sejarah letusan terbesar gunung Baru Jari terjadi pada tahun 1994. Dimana terjadi letusan pada kawah utama yang mengakibatkan kolom abu vulkanik mencapai kurang lebih 2.000 meter.
Hal ini berdampak hujan abu pekat di Kecamatan Suela dan Kecamatan Aikmel, diperparah berdampak banjir bandang di Kokoh Putik dan Aikmel saat musim hujan.
“Pada tahun 2009 sampai dengan 2015, hanya terjadi letusan samping atau letusan terjadi di lereng gunung Baru Jari. Bukan di puncak kawah, sehingga kekuatan letusannya tidak terlalu besar dan hanya berdampak di dalam kaldera Segara Anak saja,” urainya.
Sementara berdasarkan pantauan tiga bulan terakhir, aktivitas vulkanisme di Gunung Baru Jari didominasi oleh gempa vulkanik dalam yang atau posisi magma masih di bawah kedalaman satu kilometer.
“Yang artinya, dalam waktu dengan Anak Baru jari belum mau meletus baik kecil maupun besar,” prediksinya.
Nah, dari uraian di atas ia kemudian membuat kesmpulan perbedaan Gunung Semeru dan Rinjani.
Pertama, Semeru merupakan kerucut strato primer yang belum pernah meletus besar. Sehingga apabila meletus material letusan akan meluncur melalui lereng, berpotensi berdampak pada pemukiman warga.
Sedangkan Gunung Baru Jari, merupakan gunung api yang terbentuk setelah letusan dahsyat Samalas tahun 1257.
“Sehingga apabila meletus, ada tameng berupa kaldera untuk menghalangi material letusan keluar,” tandasnya.
Kedua, aktivitas letusan Semeru terjadi hampir setiap hari, sehingga kadang susah untuk memprediksi kapan kubah lava akan runtuh dan terjadi letusan besar.
Sedangkan saat ini Aktivitas Gunung Baru Jari didominasi oleh gempa vulkanik dalam yang mengindikasikan magma masih berada dibawah dan belum mau mendorong keluar.
Jadi bisa disimpulkan, dari karakeristik gunung api, Baru Jari cenderung memiliki potensi dampak yang lebih kecil daripada Gunung Semeru.
“Tapi walaupun lebih kecil, kita juga perlu tetap mengikuti protokol yang telah ditetap oleh PVMBG (Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi) melalui rekomendasinya. Yaitu dilarang beraktivitas yang intens pada radius 1,5 kilometer dari Kawah Baru jari,” tutupnya. (HAK)