Gili Matra Hadapi Ancaman Abrasi dan Tekanan Pariwisata

Mataram (NTBSatu) – Laut biru, pasir putih, dan pemandangan tropis di Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan (Matra) selama ini menjadi magnet wisata dunia.
Namun di balik indahnya panorama tiga Gili, tersimpan realitas lain. Kekayaan bawah laut bernilai tinggi itu, kini menghadapi tekanan berat akibat abrasi dan meningkatnya aktivitas manusia.
Berdasarkan kajian Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Gili Matra yang mencakup area seluas 247,5 hektare memiliki nilai ekonomi ekosistem terumbu karang mencapai Rp3,3 juta per meter persegi per tahun.
“Nilai ini menunjukkan betapa pentingnya peran terumbu karang. Ia bukan hanya memperindah laut, tetapi juga melindungi pantai, menjadi rumah bagi ikan, dan menopang ekonomi masyarakat lewat sektor pariwisata,” ujar Perwakilan BKKPN Kupang, Hotmariyah kepada NTBSatu, Senin, 6 Oktober 2025.
Kajian dilakukan menggunakan metode Emergy, pada area seluas dua hektare dengan tutupan karang hidup sekitar 39 persen. Temuan ini memperkuat bahwasanya karang memiliki nilai ekologis, sekaligus ekonomi yang sangat besar bagi kawasan pesisir Lombok Utara.
Selain bernilai tinggi, Gili Matra juga menyimpan 72 genera karang. Mulai dari Acropora, Porites, Montipora, Pocillopora, hingga Favites yang menjadi struktur utama bagi ribuan biota laut.
“Keanekaragaman ini menjadi modal alami bagi Gili Matra untuk tetap bertahan di tengah tekanan lingkungan,” tambah Hotmariyah.
Naik Turun Kondisi Karang Seiring Jumlah Wisatawan
Pantauan BKKPN menunjukkan kondisi karang Gili Matra sempat berfluktuasi dalam lima tahun terakhir. Tahun 2019, saat kunjungan wisata membeludak hingga 611.777 orang, tutupan karang turun drastis hingga 21,20 persen.
Ketika pandemi melanda dan wisata nyaris berhenti, hanya 22.469 wisatawan tahun 2021. Kondisi karang justru pulih, dengan tutupan meningkat menjadi 43,12 persen.

Namun, ketika sektor pariwisata kembali menggeliat pada 2023 dengan 339.356 pengunjung, karang kembali menurun hingga 26,12 persen.
Pada 2024 menunjukkan tanda pemulihan dengan tutupan karang hidup 35,18 persen, terutama di zona inti yang relatif lebih terjaga dan stabil. Zona ini bahkan mencatat tutupan karang keras mencapai 60–65 persen.
“Ketika laut diberi ruang untuk beristirahat, karang bisa pulih dengan sendirinya. Tapi saat tekanan aktivitas manusia meningkat lagi, dampaknya langsung terlihat,” ungkap Hotmariyah.
Abrasi Menggerus Garis Pantai Tiga Gili
Ancaman lain yang kini dihadapi Gili Matra adalah abrasi pantai. Dalam sepuluh tahun terakhir, Gili Trawangan kehilangan garis pantai hingga 4 meter setiap tahun, Gili Meno terkikis 25 meter, dan Gili Air bagian selatan menyusut sekitar 2 meter per tahun.
Menurut Hotmariyah, kombinasi arus kuat, perubahan iklim, serta pembangunan yang tidak memperhatikan garis sempadan pantai mempercepat laju abrasi.
“Abrasi bukan cuma soal hilangnya daratan, tetapi juga ancaman bagi habitat ikan dan kestabilan karang di pesisir,” ujarnya.
Meski menghadapi ancaman serius, Hotmariyah yakin Gili Matra masih memiliki peluang besar untuk menjadi contoh kawasan wisata bahari berkelanjutan.
Potensi ekonomi tinggi, keragaman hayati luar biasa, dan kemampuan alami karang untuk pulih, kawasan ini bisa menjadi model pengelolaan laut yang seimbang antara konservasi dan pariwisata.
“Kalau semua pihak bisa berjalan bersama pemerintah daerah, pelaku wisata, dan masyarakat Gili Matra akan tetap jadi surga bawah laut yang indah dan tangguh menghadapi perubahan iklim,” tutupnya. (*)