
Mengurai Kerumitan Tata Kelola di Gili Trawangan, Meno, dan Air agar Konservasi, Layanan Publik, dan Investasi Berjalan Beriringan
Oleh: IB Windia Adnyana (Staf Pengajar Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana)
Gili Indah sering digambarkan dengan laut sebening kristal, terumbu karang yang mempesona, dan suasana tropis yang rileks. Namun di balik citra “surga”, tata kelolanya menyerupai puzzle berlapis—melibatkan kewenangan pusat–daerah, darat–laut, konservasi–ekonomi, hingga kompetisi usaha. Tulisan ini memetakan kerumitan itu sekaligus menawarkan peta jalan solusi yang praktis dan operasional.
Panorama & Realitas
Secara ekologis, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air adalah pulau-pulau karang kecil yang rapuh. Ketergantungan pada pariwisata sangat tinggi: hotel, restoran, penyelaman (diving), snorkeling, dan transportasi laut. Di saat yang sama, kebutuhan layanan dasar (air bersih, sanitasi, pengelolaan sampah, listrik, keselamatan) harus terpenuhi tanpa merusak ekosistem. Dilema muncul ketika aturan-aturan yang baik—untuk melindungi alam dan menata usaha—bertemu dengan lapangan yang serba mendesak: pertumbuhan tingkat kunjungan yang melesat, tekanan ekonomi lokal, serta dinamika perizinan yang sering berubah.
Mengapa Jadi Kompleks?
Kerumitan tata kelola di Gili Indah umumnya berasal dari tumpang tindih empat simpul kewenangan utama.
Pertama, simpul ruang laut, di mana segala pemanfaatan di bawah atau di atas permukaan air—mulai dari pipa intake air laut hingga dermaga—berada di ranah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diatur melalui kesesuaian pemanfaatan ruang laut.
Kedua, simpul kawasan konservasi darat, yang berlaku ketika aktivitas di daratan bersinggungan dengan area pelestarian alam. Di sini, berlaku rezim perizinan pemanfaatan khusus dengan standar pengelolaan yang ketat.
Ketiga, kewenangan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Provinsi) yang mengatur rencana tata ruang darat (RDTR), menerbitkan perizinan berusaha (OSS-RBA), menetapkan standar bangunan (PBG/SLF), dan bertanggung jawab atas pelayanan dasar.
Terakhir, regulasi lintas-sektor dari berbagai lembaga teknis, seperti Balai Wilayah Sungai (BWS) dan Kementerian ESDM untuk urusan sumber daya air, hingga standar keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Ketika empat simpul ini saling bertemu di pulau kecil, lintasan perizinan terasa panjang, biaya kepatuhan meningkat, dan risiko kebijakan membesar. Analogi sederhananya: bayangkan Gili Indah sebagai terumbu karang. Regulasi adalah “organisme” tata kelola; jika satu terlalu dominan atau lemah, ekosistem menjadi tak seimbang.
Studi Kasus: Kompleksitas Layanan Air Bersih
Air bersih adalah urat nadi pariwisata. Namun, penyediaannya menjadi sangat rumit karena lapisan regulasi. Kerumitan dimulai dari penentuan sumber air: pilihan antara intake pipa lepas pantai (dianggap aktivitas laut) atau beach wells (dianggap aktivitas darat) akan memicu rezim perizinan yang sama sekali berbeda. Kompleksitas bertambah jika lokasi fasilitas bersinggungan dengan kawasan konservasi darat, yang memberlakukan syarat perizinan jauh lebih ketat.
Di luar itu, setiap proyek wajib memenuhi serangkaian kewajiban lingkungan (AMDAL/UKL-UPL, pemantauan brine, dll). Terakhir, sebagai layanan esensial, penyediaan air minum juga menghadapi dilema antara kebutuhan akan kepastian investasi dan keharusan menjaga prinsip persaingan usaha yang sehat.
Akar Masalah: Vakum Administrasi dan Dampak Berantainya
Akar masalah tata kelola di daratan Gili berawal dari jejak historisnya yang kompleks. Pada era 1990an dan 2000an, kawasan darat dan laut Gili Indah pernah ditetapkan sebagai satu kesatuan Taman Wisata Alam Laut seluas ±2.954 ha. Namun, sejak 2009, kewenangan pengelolaan perairannya seluas ±2.268,59 ha diserahkan kepada KKP dan ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP).
Pemisahan kewenangan ini, bagaimanapun, secara tidak langsung menciptakan status menggantung bagi kawasan daratannya. Hingga kini, tidak ada Surat Keputusan (SK) definitif yang menegaskan status konservasi di darat maupun menunjuk lembaga pengampunya (UPT/BKSDA). Akibatnya, terciptalah satu vakum administrasi yang menjadi sumber ketidakpastian hukum, batas, dan kewenangan.
Vakum administrasi ini kemudian memicu dampak berantai yang terasa langsung di semua lini. Secara prosedural, proses perizinan di darat kehilangan ‘alamat’ institusi konservasi yang jelas, menyebabkan birokrasi macet. Ironisnya, saat realisasi proyek-proyek esensial seperti penyediaan air bersih tersendat, tekanan ekologis di pesisir justru terus berjalan. Pada akhirnya, kondisi ini mengikis kepastian hukum dan merusak iklim investasi. Bagi pelaku usaha, ketidakpastian ini menjelma menjadi biaya kepatuhan (compliance cost) yang tinggi, sementara bagi pemerintah daerah, ini berisiko menekan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merusak reputasi Gili Indah sebagai destinasi kelas dunia.
Peta Jalan Solusi: Mendukung Momentum Perubahan Menuju Kepastian
Satu perkembangan krusial telah terjadi. Sebagaimana diberitakan media pada 20 September 2025, Pemerintah Provinsi NTB secara resmi tengah mempersiapkan ekspose di hadapan KLHK untuk mengusulkan perubahan status kawasan konservasi daratan Gili Tramena menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Jika benar, dan dilaksanakan sungguh-sungguh, langkah proaktif ini menandakan adanya momentum politik yang kuat untuk menyelesaikan masalah dari akarnya. Oleh karena itu, peta jalan solusi berikut dirancang untuk mendukung dan memperkuat inisiatif pemerintah ini.
Pilar I: Membangun Fondasi Kepastian Hukum dan Prosedural
1. Dukungan Penuh Perubahan Status menjadi APL & Sinkronisasi Peta: Langkah strategis utama adalah mendukung penuh usulan Gubernur NTB kepada KLHK untuk mengubah status daratan Gili menjadi APL. Sejalan dengan itu, proses rekonsiliasi data oleh tim teknis gabungan harus dipercepat untuk mewujudkan prinsip “One-Map, One-Boundary, One-Source of Truth”.
2. Penyederhanaan Birokrasi: Kerumitan perizinan harus dipangkas melalui konsep “One-Desk, One-Permit Pathway”, yakni membentuk meja layanan bersama antar-lembaga. Proses ini wajib didukung mekanisme “Fast-Track” untuk memberikan percepatan pada layanan esensial.
Pilar II: Menerapkan Tata Kelola Transisi yang Kredibel
Mengingat proses di tingkat pusat akan memakan waktu, pilar tata kelola transisi menjadi sangat krusial.
3. MoU Koordinasi & Payung Hukum Lokal: Perlu segera dibuat MoU Koordinasi Interim yang membagi peran sementara secara jelas. Pemda juga harus menetapkan Payung Hukum Lokal melalui RDTR atau Perkada untuk mengatur zona lindung dan sempadan pantai.
4. Perlindungan Darurat dan Jaminan Layanan: Kebijakan ini diperkuat dengan Moratorium Terbatas pada zona pesisir. Di saat yang sama, Protokol Transisi Tanpa ‘Zero Service’ harus disiapkan untuk menjamin layanan publik tetap berjalan melalui skema darurat.
Pilar III: Mewujudkan Visi Jangka Panjang Pasca-Penetapan APL
Setelah status APL ditetapkan, fokus beralih pada implementasi visi pengelolaan yang berkelanjutan.
5. Rencana Tata Ruang Detail (RDTR) sebagai Panglima: Dengan status APL, RDTR akan menjadi instrumen panglima. Rencana ini harus mengadopsi prinsip Desain Berdampak Rendah dan Monitoring Ketat untuk setiap pembangunan baru.
6.Kerangka Ekonomi yang Adil dan Berkelanjutan: Visi jangka panjang harus mengatur Kerangka Ekonomi yang jelas, menerapkan prinsip ‘Open Access & Non-Discrimination’ untuk infrastruktur baru, dengan tetap memberikan Kepastian Hukum penuh bagi skema KPBU yang sudah ada.
7.Transparansi dan Komunikasi Publik Proaktif: Seluruh proses wajib ditopang oleh pilar transparansi, salah satunya melalui Dashboard Layanan Publik yang terbuka untuk melaporkan progres perubahan status, implementasi RDTR, dan kualitas layanan secara berkala.
Penutup: Menjaga Surga Tetap Surga
Tidak ada yang salah dengan regulasi yang ketat—yang salah adalah ketidakpastian. Gili Indah membutuhkan aturan yang jelas, konsisten, dan bisa diprediksi. Dengan mengawal usulan perubahan status menjadi APL sambil menerapkan tata kelola transisi yang kredibel, Gili Indah dapat bertransformasi dari surga yang terjerat regulasi menjadi model penataan destinasi kelas dunia yang memiliki kepastian hukum, di mana konservasi berjalan, layanan publik terjamin, dan investasi merasa aman. (*)