Ekonomi BisnisHEADLINE NEWSLombok Utara

Geliat Ekonomi Tiga Gili Hasilkan Rp7,5 Triliun per Tahun, Pemda KLU Dorong Persebaran Wisata Baru

Mataram (NTBSatu) – Fenomena mass tourism kembali terasa di kawasan Tiga Gili, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air pada Agustus 2025.

Gelombang wisatawan yang terus meningkat memang mendongkrak ekonomi Lombok Utara, namun turut memberi tekanan berat bagi ekosistem laut dan terumbu karang di kawasan konservasi Gili Matra.

Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Lombok Utara, Angga Priyono menyebut, total nilai ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas pariwisata di kawasan Tiga Gili mencapai Rp7,5 triliun per tahun.

Angka ini mencakup kontribusi wisatawan mancanegara sebesar Rp3,09 triliun dan wisatawan domestik sekitar Rp337 miliar.

“Pariwisata di Tiga Gili memang jadi lokomotif utama ekonomi daerah. Tapi di sisi lain, kami tidak bisa membendung derasnya fenomena mass tourism ini. Karena itu, strategi kami sekarang adalah memperluas persebaran wisata agar tidak hanya terpusat di Gili,” ujar Angga, pada NTBSatu, Minggu, 12 Oktober 2025.

Melihat pengeluaran wisatawan mancanegara mencapai Rp14,29 juta per kunjungan dan wisatawan domestik sekitar Rp5,26 juta, geliat ekonomi pariwisata di Tiga Gili masih menjadi penopang utama perekonomian daerah.

Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi Lombok Utara pun terus menguat. Mencapai rata-rata 5 persen per tahun. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dari Rp116 miliar pada 2019 menjadi Rp243 miliar pada 2024.

Saat ini, Pemda KLU tengah menyiapkan wisata alternatif di berbagai titik Lombok Utara, seperti Teluk Nare, air terjun Gangga dan Santong, serta wisata alam Senaru.

Harapannya upaya ini dapat menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan daya dukung lingkungan di kawasan pesisir.

“Kalau semua wisatawan menumpuk di Tiga Gili, tentu tekanannya besar, baik terhadap lingkungan maupun infrastruktur. Kami ingin menawarkan pengalaman wisata yang lebih tersebar dan berkelanjutan,” tambahnya.

Terumbu Karang Bernilai Rp3,3 Juta per Meter Persegi

Potret pelabuhan di Gili Meno. Foto: Sita Saraswati

Kawasan Konservasi Perairan Gili Matra yang mencakup area 247,5 hektare memiliki nilai ekonomi ekosistem terumbu karang mencapai Rp3,3 juta per meter persegi per tahun, berdasarkan kajian BKKPN Kupang.

“Nilai ini menunjukkan betapa pentingnya peran terumbu karang. Ia bukan hanya memperindah laut, tapi juga melindungi pantai, menjadi rumah bagi ikan, dan menopang ekonomi masyarakat lewat sektor pariwisata,” ujar Hotmariyah, perwakilan BKKPN Kupang.

Kajian tersebut menggunakan metode Emergy pada area dua hektare dengan tutupan karang hidup sekitar 39 persen. Selain bernilai ekonomi tinggi, Gili Matra juga menyimpan 72 genera karang, mulai dari Acropora, Porites, Montipora, Pocillopora, hingga Favites.

“Keanekaragaman ini adalah modal alami bagi Gili Matra untuk tetap bertahan di tengah tekanan lingkungan,” tambah Hotmariyah.

Naik-Turun Karang Seiring Ledakan Wisatawan

Potret wisatawan mancanegara memesan tiket fast boat di Gili Air. Foto: Sita Saraswati.

BKKPN mencatat kondisi karang di Gili Matra berfluktuasi dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, saat wisatawan mencapai 611.777 orang, tutupan karang hidup turun ke 21,20 persen. Saat pandemi 2021, ketika kunjungan anjlok menjadi 22.469 orang, karang justru pulih hingga 43,12 persen.

Namun, pada 2023, ketika kunjungan kembali melonjak ke 339.356 wisatawan, karang menurun lagi ke 26,12 persen. Tahun 2024, tutupan karang hidup meningkat kembali ke 35,18 persen, dengan zona inti mencatat stabilitas tertinggi (karang keras 60–65 persen).

“Ketika laut diberi ruang untuk beristirahat, karang bisa pulih dengan sendirinya. Tapi saat tekanan manusia meningkat, dampaknya langsung terasa,” jelas Hotmariyah.

Abrasi dan Sampah Jadi Ancaman Serius

Selain tekanan dari aktivitas wisata, abrasi dan persoalan sampah kini menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ekosistem di Tiga Gili.

Dalam satu dekade terakhir, Gili Trawangan kehilangan garis pantai hingga empat meter per tahun, Gili Meno terkikis hingga 25 meter, dan Gili Air bagian selatan menyusut sekitar dua meter setiap tahun.

Di sisi lain, meningkatnya volume sampah akibat lonjakan wisatawan juga menambah beban lingkungan.

Kapasitas lahan pembuangan sementara milik pemerintah di Gili Trawangan hanya 25 are, terbatas dan sudah penuh.

Bahkan 44 are tambahan lahan milik warga telah digunakan untuk menampung sisa pembakaran sampah, namun hampir mencapai kapasitas maksimum.

Penggiat komunitas pesisir Gili Trawangan, Sanu, menegaskan pentingnya kolaborasi menjaga kelestarian laut di tengah derasnya arus wisata.

“Terumbu karang adalah emas bagi masyarakat Gili Matra. Kami tidak punya minyak atau batubara, tapi punya laut yang indah. Karena itu kami akan terus bergotong royong melindungi karang kami,” ujarnya.

Sanu mengatakan, masyarakat di tiga gili kini mulai sadar bahwasannya pariwisata tidak akan bertahan lama jika laut rusak.

Oleh karenanya, berbagai komunitas lokal mulai menggiatkan aksi bersih pantai, penanaman karang, dan edukasi wisatawan tentang pentingnya menjaga ekosistem laut.

“Kami ingin wisatawan datang bukan hanya untuk menikmati keindahan laut, tapi juga ikut menjaganya. Kalau laut mati, maka ekonomi kami pun ikut mati,” tukasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button