Oleh: Agum Muladi*
Di balik keindahan pantai-pantai eksotis dan hamparan sawah yang menghijau, Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah menghadapi musuh diam yang bergerak perlahan namun mematikan ialah kenaikan muka air laut (KAML). Ancaman ini, yang merupakan dampak langsung dari perubahan iklim global, bukan lagi ramalan futuristik, melainkan kenyataan pahit yang kini mengancam ribuan keluarga, melumpuhkan sektor pertanian andalan, dan merusak pondasi layanan dasar.
Berdasarkan laporan kajian komprehensif, yang disusun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTB, Bappenas, Kemendagri, dan didukung Program SKALA (Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Akselerasi Layanan Dasar), memberikan gambaran yang suram. Dengan menggunakan skenario kenaikan air laut setinggi satu meter, analisis ini menempatkan Sumbawa pada posisi teratas daftar wilayah paling rentan di NTB. Ini adalah kisah tentang bagaimana perubahan iklim tidak hanya mengubah peta geografis, tetapi juga menghancurkan kehidupan di tingkat desa.
Baris Depan Krisis Iklim: Sumbawa Memimpin dalam Kerentanan
Kabupaten Sumbawa memegang rekor sebagai wilayah dengan jumlah keluarga dan individu yang paling berisiko terdampak KAML di seluruh Provinsi NTB. Angka-angka ini mengejutkan dan memerlukan perhatian segera, yakni terdapat total 4.772 keluarga di Sumbawa akan terdampak langsung. Ini adalah jumlah keluarga terdampak tertinggi se-NTB. Dampak ini meluas ke total 15.061 individu yang menjadikan Sumbawa sebagai kabupaten dengan jumlah populasi terdampak terbanyak. Secara persentase, Sumbawa memiliki tingkat paparan populasi tertinggi terhadap KAML di tingkat provinsi, mencapai 0,3% dari total penduduk.
Temuan ini tidak terlepas dari karakteristik geografis dan demografis Sumbawa. Meskipun Sumbawa diklasifikasikan sebagai Low Impact Cluster dalam konteks paparan fisik secara umum, hal ini disebabkan karena sebaran penduduknya yang lebih banyak berada di wilayah pedalaman. Namun, zona permukiman yang ada notabenenya merupakan tempat tinggal ribuan keluarga yang terpusat di wilayah pesisir. Hal ini didukung fakta bahwa Sumbawa memiliki jumlah Desa/Kelurahan tepi laut yang paling banyak dibandingkan kabupaten lainnya, menjadikannya rentan terhadap risiko bencana.
Tsunami Perlahan pada Sektor Pangan: Jeritan dari Lahan Pertanian
Inti perekonomian dan ketahanan pangan Sumbawa kini berada di bawah ancaman. Laporan ini secara spesifik menyoroti dampak KAML terhadap sektor pertanian, dan hasilnya sangat mengkhawatirkan, yaitu Sumbawa mencatat luas lahan pertanian yang terdampak paling besar dibandingkan seluruh kabupaten/kota di NTB. Total lahan pertanian yang terancam di Sumbawa mencapai 1.405,62 hektar. Angka ini jauh melampaui daerah lain, bahkan Lombok Timur (374,22 ha) dan Kabupaten Bima (340,76 ha).
Ancaman ini bukan sekadar hilangnya lahan, tetapi tentang rusaknya kualitas tanah secara permanen. Fenomena abrasi dan KAML memicu intrusi air laut ke dalam ekosistem darat. Intrusi ini tidak hanya menyebabkan kerusakan langsung pada lahan pertanian, tetapi juga mencemari sumber daya vital, termasuk ketersediaan air pada sumur air bersih. Konsekuensinya adalah terjadinya gagal panen dan penurunan secara drastis produktivitas pertanian, yang secara langsung menyerang mata pencaharian utama masyarakat.
Sains Membuktikan Keresahan Sumbawa
Kisah Sumbawa ini didukung kuat oleh temuan-temuan ilmiah global. Kajian-kajian di bidang Hidrogeologi dan Ilmu Tanah yang terindeks secara internasional menegaskan bahwa proses salinisasi (keasinan) yang dipercepat oleh KAML adalah ancaman terbesar. Kelebihan garam ini secara teknis menyebabkan toksisitas ion dan mengurangi penyerapan nutrisi penting, yang secara langsung memicu penurunan hasil panen atau kegagalan panen total.
Selain itu, kontaminasi air tanah oleh intrusi air laut, yang ditandai dengan tingginya kandungan Natrium dan Klorida, dikonfirmasi oleh studi ilmiah sebagai penyebab tercemarnya sumur air bersih. Validasi ilmiah ini mengubah isu lokal Sumbawa menjadi bagian dari krisis iklim global, memperkuat seruan bahwa data dan kajian yang ada di Sumbawa harus segera direspons.
Konflik Relokasi: Nelayan dan Petani Menolak Pindah
Dampak lingkungan ini secara mendalam bersinggungan dengan layanan sosial, khususnya dalam program relokasi masyarakat pesisir.
Kajian menunjukkan bahwa sebagian besar kepala keluarga (KK) di Sumbawa yang terdampak adalah pekerja di sektor primer (pertanian, perikanan, pertambangan), dengan persentase mencapai 65,4%. Kondisi ini menciptakan dilema terbesar bagi Pemerintah Daerah yaitu Ketergantungan Alam, Masyarakat dengan karakteristik pekerja sektor primer, seperti nelayan, memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada kedekatan dengan laut. Wawancara dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menguatkan bahwa masyarakat pesisir, seperti yang terjadi di Desa Meninting dan Kecamatan Kayangan, enggan untuk pindah, meskipun harga sewa rumah susun telah diturunkan. Mereka menolak relokasi karena pekerjaan mereka sangat bergantung pada akses langsung ke laut. Alasan penolakan lain adalah rasa tidak aman untuk meninggalkan properti lama, karena khawatir akan keamanan aset yang tetap berada di wilayah pesisir.
Hal ini menunjukkan bahwa program relokasi, yang merupakan solusi logis terhadap bencana, masih belum mempertimbangkan aspek mata pencaharian (livelihood) masyarakat. Tanpa jaminan mata pencaharian di lokasi baru, relokasi akan gagal, dan masyarakat akan tetap tinggal di zona bahaya.
Perlindungan Sosial Adaptif: Melindungi Kelompok Rentan
Kenaikan muka air laut memperburuk kondisi kelompok masyarakat yang secara alamiah sudah rentan. Di Sumbawa, ancaman ini memiliki dimensi sosial yang tajam terhadap beberapa kelompok rentan yakni lansia. Sumbawa mencatat persentase lansia terdampak termasuk tertinggi di NTB, mencapai 2,04% dari total populasi. Kebutuhan kelompok ini terhadap infrastruktur ramah lansia dan perlindungan khusus akan meningkat drastis jika terjadi bencana. Kepala Keluarga Perempuan (KKP) di Sumbawa juga menunjukkan persentase tertinggi terdampak (1,38%). KKP adalah kelompok rentan tinggi karena mereka berperan ganda sebagai pencari nafkah utama sekaligus pengelola rumah tangga. Kelompok pekerja informal, yang merupakan yang paling tidak terlindungi secara ekonomi, memiliki persentase tertinggi di Sumbawa (12,05%).
Meskipun demikian, Sumbawa memiliki tantangan unik dalam layanan Kesehatan, terdapat 6.743 orang di wilayah terdampak yang belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jumlah ini adalah yang terbanyak di seluruh NTB, menciptakan kantong kerentanan kesehatan yang harus ditangani segera.
Jalan Keluar: Rekomendasi Kebijakan untuk Sumbawa
Menghadapi tantangan lingkungan yang masif, laporan kajian ini menawarkan serangkaian rekomendasi yang harus diprioritaskan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa yakni perlunya Intervensi secara Komprehensif dan Multisektoral Mengingat tingginya populasi terdampak, kemiskinan, dan kelompok rentan, Sumbawa memerlukan intervensi yang terkoordinasi lintas sektor (pendidikan, kesehatan, sosial, dan infrastruktur). Penguatan Pertahanan Pesisir, Mempercepat implementasi Nature-based Solution (NbS) seperti penanaman mangrove dan pelestarian terumbu karang. NbS tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur mitigasi banjir dan abrasi, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat pesisir. Selanjutnya yakni Perencanaan Relokasi yang Adaptif, Relokasi harus dilakukan dengan pendekatan berbasis data dan partisipatif, dimulai dari verifikasi lapangan. Relokasi harus mempertimbangkan kesinambungan mata pencaharian dan menjamin akses ke layanan dasar di lokasi baru. Serta perlunya peningkatan perlindungan sosial, Fokus pada perluasan cakupan perlindungan sosial berbasis gender (GEDSI) dan memperluas jangkauan JKN kepada 6.743 penduduk yang belum terdaftar.
Sumbawa berada pada persimpangan jalan. Kenaikan muka air laut adalah tantangan lingkungan yang memerlukan perubahan paradigma, dari responsif bencana menjadi perencanaan adaptif iklim. Dengan investasi mitigasi yang tepat dan pengintegrasian risiko iklim dalam setiap kebijakan pembangunan, Sumbawa masih memiliki peluang untuk menjaga ketahanan wilayahnya dan melindungi masyarakatnya dari ancaman dinding air yang terus mendekat.
*Penulis adalah Mahasiswa Doktor di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University


