OpiniWARGA

Di Balik ‘Diamnya’ Bupati Lombok Utara, Ada Pelajaran Tata Kelola yang Mahal

Oleh: Farid Tolomundu – Sekretaris DPW Gelora NTB

Dalam beberapa hari terakhir, ruang publik Lombok Utara diwarnai kebisingan terkait putusan KPPU atas proyek Sea Water Reverse Osmosis (SWRO). Sorotan tajam mengarah pada Bupati Dr. H. Najmul Akhyar, yang dinilai ‘bungkam’ oleh sebagian kalangan media. Label ‘bungkam’ adalah satu kata yang seksi secara jurnalistik, namun seringkali berbahaya karena menyederhanakan suatu realitas yang kompleks.

Sebagai pengamat, saya justru melihat sikap Bupati Najmul Akhyar bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai satu preseden langka yang menunjukkan kematangan politik dan pemahaman mendalam akan tata kelola pemerintahan di tengah krisis.

Diam yang Strategis, Bukan Defensif

Di era di mana politisi berlomba-lomba membuat pernyataan populis dan reaktif, memilih untuk menahan diri adalah satu langkah yang tidak populer, namun sangat bertanggung jawab. Apa yang terjadi jika Bupati Najmul Akhyar memilih jalan sebaliknya?

Bayangkan jika ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang menyalahkan sana-sini. Hal itu mungkin akan memuaskan dahaga sebagian publik akan drama, namun secara strategis akan blunder. Pertama, hal itu akan dianggap sebagai intervensi langsung terhadap proses hukum yang sedang ditempuh oleh BUMD-nya.

Kedua, ia akan terjebak dalam “trial by media” atau peradilan oleh media, di mana setiap kata akan dipelintir dan memperkeruh suasana.

Sikap yang ditunjukkannya saat ini—tenang, terukur, dan menyerahkan proses pada koridor hukum—adalah cerminan seorang pemimpin yang tidak panik. Ia memisahkan dirinya dari kegaduhan teknis hukum dan fokus pada perannya sebagai kepala daerah: memastikan pemerintahan tetap berjalan. Ini bukan sikap bungkam karena bersalah, ini adalah sikap diam karena menghormati sistem.

Melihat Hutan, Bukan Sekadar Pohon.

Publik dan media seringkali terjebak hanya melihat satu “pohon”: putusan KPPU dan dugaan korupsi. Padahal, ada “hutan” masalah yang lebih besar di baliknya yang sering luput dari perhatian. Hutan itu adalah kompleksitas regulasi dari pemerintah pusat yang seringkali tidak membumi.

IKLAN

Kasus SWRO ini adalah contoh klasik dari “tragedi implementasi”. Daerah didorong berinovasi melalui skema KPBU yang rumit, namun tidak dibekali pendampingan yang memadai. Ketika terjadi kesalahan prosedural akibat ketidaktahuan—seperti yang terungkap di sidang KPPU—daerah menjadi pihak yang paling mudah untuk disalahkan.

Dalam konteks ini, Bupati Najmul Akhyar berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, ia adalah pemimpin dari satu sistem yang di dalamnya terdapat aparat yang mungkin melakukan kekeliruan. Di sisi lain, ia juga adalah ‘korban’ dari suatu desain kebijakan nasional yang menuntut kapasitas sempurna dari daerah yang serba terbatas.

Pelajaran Mahal untuk Semua

Pada akhirnya, kasus ini memberikan pelajaran mahal bagi semua pihak. Bagi pemerintah pusat, ini adalah alarm untuk merancang regulasi yang lebih aplikatif dan memperkuat asistensi teknis. Bagi aparat daerah, ini adalah pengingat akan pentingnya kehati-hatian.

Dan bagi publik serta media, ini adalah ujian untuk tidak terburu-buru menghakimi. Sikap yang ditunjukkan Bupati Najmul Akhyar seharusnya tidak dibaca sebagai “bungkam”, melainkan sebagai ajakan untuk melihat persoalan ini secara lebih jernih dan adil. Ia sedang menunjukkan bahwa di tengah badai, nakhoda terbaik bukanlah yang paling banyak berteriak, melainkan yang paling fokus menjaga agar kapalnya tidak karam.

Saat ini, ia memilih untuk tidak menambah kebisingan. Ia memilih bekerja dalam senyap, memastikan pelayanan publik tidak terganggu. Dan dalam politik modern yang gaduh, sikap seperti itu justru merupakan suatu kemewahan dan, boleh jadi, suatu kearifan. (*)

Berita Terkait

Back to top button