
Catatan: Cukup Wibowo
(Widyaiswara Ahli Utama di BPSDMD Provinsi NTB)
Sering kali kita mendengar keluhan masyarakat tentang pelayanan publik yang “ramah tapi tidak menyelesaikan masalah”. ASN tersenyum, menyambut dengan baik, namun persoalan inti yang dihadapi warga tetap berlarut-larut. Di sinilah letak perbedaan antara sekadar bersikap “ramah di permukaan” (nice) dengan “tulus, jujur, dan solutif” (kind) seperti yang secara nyata dirasakan oleh masyarakat sebagai pemeroleh layanan publik.
Menjadi nice memang membuat suasana terasa aman. ASN mungkin berkata, “Baik, nanti kami lihat dulu,” atau “Itu sudah prosedurnya.” Kalimat semacam ini terdengar sopan, tapi seringkali menunda penyelesaian. Masyarakat akhirnya merasa dihargai secara formal, tetapi tidak mendapatkan solusi nyata. Berbeda halnya jika ASN bersikap kind. Alih-alih hanya mengatakan, “Itu sudah begitu aturannya,” ASN bisa menyampaikan, “Aturan memang demikian, tapi mari kita lihat apakah ada ruang untuk mempercepat proses.” Atau ketika ada kritik, ASN tidak menutup telinga dengan senyum diplomatis, melainkan berkata, “Terima kasih atas masukannya. Apa menurut Bapak/Ibu yang bisa kami perbaiki?”
Sikap seperti ini tidak hanya lebih jujur, tetapi juga membangun kepercayaan. Stephen M.R. Covey dalam bukunya The Speed of Trust menegaskan bahwa kepercayaan lahir dari kombinasi niat baik dan keberanian untuk transparan. Senyum ramah tanpa tindakan nyata hanya menciptakan kesan semu, sementara keterbukaan yang dibarengi solusi membuat masyarakat yakin bahwa ASN benar-benar hadir untuk mereka. Pakar administrasi publik Prof. Agus Dwiyanto juga menekankan hal serupa: pelayanan publik tidak boleh berhenti pada kepatuhan prosedural, tetapi harus menghadirkan akuntabilitas. ASN yang sekadar “nice” hanya memastikan prosedur berjalan. ASN yang “kind” berani membuka ruang dialog, mencari alternatif solusi, dan memastikan warga merasa didengar sekaligus terbantu.
Praktik ini dapat dilihat dalam berbagai bidang pelayanan publik. Pada pelayanan perizinan, misalnya, masyarakat masih sering mengeluhkan proses yang berbelit. ASN yang hanya nice akan berkata, “Berkas Anda belum lengkap, silakan kembali lain kali.” Sebaliknya, ASN yang kind memberi daftar dokumen yang jelas, mencantumkan nomor kontak yang bisa dihubungi, bahkan menjelaskan langkah-langkah agar pemohon tidak perlu bolak-balik. Cara seperti ini kini mulai diterapkan di Mal Pelayanan Publik (MPP) yang berkembang di banyak kota dan kabupaten, sehingga masyarakat merasa terbantu, bukan dipersulit.
Hal serupa juga terlihat dalam pelayanan kesehatan. Di puskesmas atau rumah sakit pemerintah, pasien kerap menghadapi antrean panjang. ASN yang nice mungkin hanya berkata, “Mohon sabar, antrean masih panjang.” Namun ASN yang kind justru menjelaskan estimasi waktu, memberi arahan alternatif seperti loket khusus untuk lansia, atau membantu pasien menggunakan aplikasi antrean digital yang kini mulai tersedia. Dengan begitu, pasien merasa dilayani dengan empati, bukan sekadar ditenangkan.
Pengalaman lain datang dari pelayanan kependudukan, khususnya terkait pengurusan KTP elektronik. ASN yang nice akan berkata, “Blanko habis, silakan cek kembali bulan depan.” ASN yang kind akan menambahkan, “Saat ini blanko memang terbatas, tapi kami bisa keluarkan Surat Keterangan (Suket) yang sementara dapat dipakai untuk kebutuhan administrasi. Begitu blanko tersedia, kami akan hubungi Bapak/Ibu.” Pendekatan semacam ini jelas lebih solutif dan membuat masyarakat merasa dihargai.
Perubahan dari nice ke kind sebenarnya bukan hanya soal etika individu ASN, melainkan juga mandat kebijakan negara. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menyebutkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan yang cepat, mudah, terjangkau, dan transparan. UU ini menekankan pentingnya kepastian dan akuntabilitas, bukan sekadar keramahan formal. Hal ini juga sejalan dengan Agenda Reformasi Birokrasi Nasional 2020–2024 yang menempatkan peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai salah satu prioritas utama. Pemerintah mendorong ASN menghadirkan layanan yang berorientasi pada hasil nyata dan kepuasan masyarakat, bukan hanya formalitas prosedural.
Terlebih lagi, Core Values ASN “BerAKHLAK” yang diluncurkan pada tahun 2021 mempertegas arah perubahan budaya birokrasi. Nilai “Berorientasi Pelayanan” menuntut ASN untuk benar-benar memahami kebutuhan masyarakat, memberikan solusi, serta mengedepankan empati dalam interaksi sehari-hari. Dengan kata lain, tuntutan agar ASN bertransformasi dari sekadar “nice” menjadi “kind” sudah tertulis jelas dalam pedoman etika profesi ASN.
Perubahan kecil dari nice ke kind ini sangat penting untuk reformasi birokrasi kita. Masyarakat kini semakin kritis dan tidak lagi puas hanya dengan keramahan di meja layanan. Mereka menuntut kepastian, solusi, dan rasa dihargai sebagai warga negara. Pelayanan publik yang baik bukan hanya soal senyum, salam, dan sapa. Itu penting, tetapi bukan segalanya. Yang lebih dibutuhkan adalah keberanian ASN untuk jujur, terbuka, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan begitu, wajah birokrasi Indonesia bisa benar-benar berubah—dari sekadar menyenangkan, menjadi sungguh-sungguh menyejahterakan. (*)