9 Ribu Hektar Hutan dan Lahan NTB Terbakar, Terparah Keempat Nasional

Mataram (NTBSatu) – Data Sistem Informasi Pemanauan Kebakaran Hutan dan Lahan (SiPongi) KLHK mencatat, hingga Juli 2025 luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mencapai 99.032,51 hektare. Angka ini setara 26,28 persen dari total karhutla sepanjang 2024.
Di antara provinsi terdampak, Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati posisi keempat tertinggi dengan luas karhutla 9.778,89 hektare.
NTB berada tepat di bawah NTT (20.009,50 ha), Sumut (15.248,82 ha), dan Kalbar (11.258,61 ha).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB, wilayah dengan dampak terluas meliputi Dompu, Bima, Kota Bima, Sumbawa, dan Lombok Timur.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) DLHK NTB, Mursal, menegaskan hampir seluruh penyebab karhutla di NTB pemicunya ulah manusia.
“Penyebab karhutla di NTB, 99 persen adalah human factors. Mulai dari perladangan liar, pembakaran lahan untuk persiapan berladang, perburuan satwa, hingga aktivitas wisata di kawasan hutan seperti merokok atau memasak,” jelasnya, Jumat, 12 September 2025.
Terkesan Pembiaran
Menanggapi fenomena ini, Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menyatakan keprihatinan mendalam.
Menurutnya, angka karhutla di NTB yang terus tinggi menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
“Kalau 99 persen penyebabnya manusia, artinya pemerintah gagal melakukan pencegahan. Harus ada pelibatan masyarakat. Tapi yang paling penting adalah penegakan hukum. Jangan sampai pelaku hanya dapat teguran, tapi harus ada sanksi tegas,” kata Amri.
Amri menekankan, dampak karhutla tidak hanya sebatas kerusakan hutan. Masyarakat pun ikut menanggung akibatnya.
“Asap karhutla jelas mengganggu kesehatan warga, terutama anak-anak dan lansia. Selain itu, sumber air juga terancam, satwa kehilangan habitat, dan ekonomi lokal seperti pertanian serta pariwisata ikut terpukul,” tegasnya.
Ia menilai lemahnya kontrol di lapangan membuat praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan terus berulang setiap tahun.
“Selama pola ini dibiarkan, NTB akan terus masuk jajaran provinsi dengan karhutla terluas. Padahal kerugian ekologis dan sosialnya tidak sebanding dengan keuntungan jangka pendek pembukaan lahan,” imbuhnya.
WALHI mendesak Pemprov NTB bersama aparat terkait untuk segera memperkuat patroli lapangan, memperbaiki sistem pengawasan, serta melibatkan masyarakat dalam pencegahan kebakaran.
“Jangan tunggu ribuan hektare habis lagi baru bergerak. Pencegahan harus jadi prioritas, karena kalau sudah terbakar, kerugiannya tidak bisa diganti,” pungkas Amri. (*)