Mataram (NTBSatu) – Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Fatimah Azzahra memberikan refleksi dalam dunia kedokteran yang ia nilai semakin mengkhawatirkan.
Dalam video di akun TikTok @berita.sejiwa, Fatimah mengawali penyampapaiannya dengan mengenang pengalaman belajar bersama para guru besar. Ia mendapat pelajaran mengenai nilai moral dan etika dalam pendidikan kedokteran.
Mahasiswi tingkat dua FK UI ini menyoroti, sosok Prof. Damayanti yang pernah mengajukan pertanyaan mendalam kepada para mahasiswa.
“Kalau pasien kalian membutuhkan pengobatan yang tidak tersedia di negara ini, apa yang akan kalian lakukan?,” ungkapnya meniru Prof. Damayanti
Fatimah menjelaskan, pertanyaan itu mengubah cara pandangnya. Terutama saat Prof. Damayanti menegaskan bahwa seorang dokter tidak boleh hanya pasrah, tetapi harus berjuang agar pasien mendapatkan pengobatan terbaik.
Namun, idealisme itu perlahan terguncang karena isu kekerasan seksual seorang PPDS (dokter peserta pendidikan spesialis) menjadi titik balik.
Tak hanya menyakitkan, kata Fatimah, kasus ini justru membangun narasi buruk tentang dunia kedokteran. Ia merasa para mahasiswa yang sedang berjuang belajar menjadi dokter seakan-akan diposisikan sebagai ancaman.
Menurutnya, komentar dari Menteri Kesehatan yang mempertanyakan mengapa pelaku adalah PPDS bukan konsulen menunjukan kurangnya pemahaman terhadap sistem pendidikan dokter spesialis, yang berbasis praktik langsung di rumah sakit.
“Itu membuat saya sadar, pemegang kebijakan tertinggi tidak memahami dinamika pendidikan kedokteran,” tegasnya.
Pemerintah Cabut Hak Kolegium Kedokteran
Keresahan kian dalam, saat pemerintah mencabut secara sepihak hak kolegium kedokteran. Kemudian, pemindahan mendadak Ketua IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dari RSCM tanpa penjelasan. Menurutnya, hal itu mencerminkan sikap anti dialog terhadap para pendidik.
Fatimah juga menyoroti rencana pemisahan rumah sakit pendidikan dari universitas. Hal ini akan menghilangkan nilai penting dalam pendidikan dokter, yaitu pembelajaran dari praktik langsung dan keteladanan para klinisi.
“Saya tidak ingin belajar di tempat yang hanya memproduksi dokter secara teknis. Suasana belajar yang hanya bertumpu pada sistem rumah sakit tanpa bimbingan seorang guru. Saya ingin tetap punya akses ke tempat di mana dokter-dokter terbaik negeri ini belajar, mengajar, dan merawat pasien dalam satu nafas,” ungkapnya
Meski dikecewakan oleh kebijakan dan intervensi kekuasaan, Fatimah belum kehilangan harapan. Ia percaya pendidikan kedokteran masih bisa selamat selama masih ada guru yang berdiri teguh dan mahasiswa yang saling menguatkan.
“Kami akan terus belajar. Tapi kami mohon jangan bungkam suara mereka yang mengajarkan kami bukan hanya untuk menjadi dokter. Tapi juga menjadi manusia,” pungkasnya dengan penuh harap. (*)