Viral Video Anak Diikat dan Diarak Warga di Pasar, LPA Mataram Kecam Kekerasan Terhadap Disabilitas
Mataram (NTBSatu) – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram mengecam, beredarnya video dugaan kekerasan terhadap seorang anak laki-laki di kawasan Pasar Buah Keru, Lombok Barat. Dalam video yang viral di media sosial tersebut, anak tampak diikat dan diperlakukan tidak manusiawi oleh sejumlah perempuan.
Video pertama berdurasi 1 menit 17 detik di akun Facebook @mamak.tama.297036 memperlihatkan, seorang perempuan mengenakan sweter kuning menyeret anak tersebut. Kemudian, mengikat tubuhnya menggunakan tali rafia merah serta menampar wajah korban. Ia melakukan aksi tersebut sambil tertawa dan merekamnya menggunakan ponsel, seolah konten hiburan.
Dalam video kedua berdurasi 59 detik, anak terlihat pasrah dalam kondisi terikat pada sebuah tiang. Ia bahkan diberi makan buah dengan cara yang tidak pantas. Dalam rekaman terdengar percakapan berbahasa Sasak, salah satu perempuan menyebut, anak tersebut dituduh mencuri ponsel milik pelaku.
Unggahan video tersebut disertai keterangan bernada mengejek dan tidak menunjukkan empati. Hal ini memicu kecaman luas dari masyarakat yang menilai, tindakan tersebut sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Sekaligus mencerminkan rendahnya pemahaman tentang perlindungan anak dan hak penyandang disabilitas.
LPA Soroti Dampak Psikologis dan Stigmatisasi Anak Disabilitas
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi menegaskan, tindakan mengikat, memukul, dan mempermalukan anak di ruang publik, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.
“Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap anak, apalagi dilakukan untuk kepentingan konten. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berdampak serius terhadap kondisi psikologis anak dan memperkuat stigma negatif. Khususnya terhadap anak penyandang disabilitas,” ujar Joko, Selasa, 23 Desember 2025.
Berdasarkan pendampingan awal, LPA menduga korban merupakan anak penyandang disabilitas dengan kondisi autisme. Sehingga, memiliki emosi yang tidak stabil dan perilaku seperti anak usia lebih kecil. Anak tersebut diketahui berasal dari keluarga broken home, dengan ayah telah meninggal dunia dan saat ini tinggal bersama ibunya.
Selain itu, ia menilai, pengasuhan di lingkungan keluarga tidak optimal. Anak yang telah berusia belasan tahun tersebut diketahui tidak bersekolah.
“Harusnya sih bersekolah iya. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan, anak tersebut tidak bersekolah padahal umurnya belasan tahun,” ungkap Joko.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pihak LPA akan segera menindaklanjuti penanganan dan rehabilitasi anak tersebut menunggu hasil asesmen dari psikolog.
“Kalau memungkinkan nanti kita sekolahkan di sekolah khusus saja,” jelas Joko.
Meski sebelumnya dugaannya korban sempat merusak barang, LPA menekankan kondisi tersebut tidak dapat menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan dan penghukuman di ruang publik.
Saat ini, anak telah diamankan dan mendapatkan pendampingan. LPA Kota Mataram mendorong agar korban menjalani rehabilitasi sosial di Sentra Paramitha, Lombok Barat, guna memulihkan kondisi psikologis serta meningkatkan fungsi sosial anak.
LPA juga mengimbau masyarakat untuk lebih memahami cara penanganan anak penyandang disabilitas. Setiap anak, termasuk anak dengan kebutuhan khusus, memiliki hak untuk mendapat perlakuan secara manusiawi, terlindungi dari kekerasan, dan mendapatkan pendampingan yang sesuai.
“Peristiwa ini harus menjadi pembelajaran bersama bahwa anak, khususnya anak disabilitas, tidak boleh dijadikan objek kekerasan atau tontonan di media sosial. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama,” tegas Joko. (*)



