Pemerintahan

Pemprov NTB Sebut Keluarga Miskin Rentan Stunting

Mataram (NTBSatu) – Berdasarkan data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2025, angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meningkat signifikan.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan, prevalensi stunting di NTB mencapai 29,8 persen, naik 5,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Capaian ini menempatkan NTB di peringkat keenam tertinggi secara nasional.

“Peningkatan ini menjadi peringatan penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi dalam menekan kasus stunting di daerah,” kata Fikri, Senin, 17 November 2025.

Fikri menjelaskan, yang paling rentan terkena stunting adalah keluarga miskin ekstrem. Untuk itu Gubernur NTB, katanya, sangat fokus melakukan pengentasan kemiskinan. Salah satunya melalui program Desa Berdaya dengan tema Desa Sehat dan Bebas Stunting.

“Desa Sehat dan Bebas Stunting bermanfaat untuk menurunkan prevalensi stunting melalui intervensi gizi spesifik dan sensitif, peningkatan kapasitas kader Posyandu, akses keluarga terhadap pangan bergizi dan aman, menjaga pola asuh anak, generasi desa yang sehat, cerdas, dan produktif, sanitasi aman dan layak,” jelasnya.

KLU dan Lombok Timur Masuk Zona Merah Stunting

Sebagai informasi, dua daerah di NTB, yaitu Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan Kabupaten Lombok Timur masuk zona merah stunting.

Kategori zona merah, persentase angka stuntingnya di atas 30 persen. Angka stunting KLU 35,3 persen, sedangkan Lombok Timur 33 persen.

“Kalau kita lihat dari peta kerawanan, ada kabupaten yang masuk kategori merah, kuning, dan hijau. Yang merah itu di atas 30 persen. Saat ini yang masih merah adalah Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur,” kata Fikri, Kamis, 6 November 2025.

Selain itu, enam daerah lainnya masuk zona kuning dengan persentase angka stunting kurang dari 30 persen. Di antaranya: Kabupaten Bima 23,8 persen; Kota Bima 28,4 persen; Sumbawa 29,8 persen; Lombok Tengah 24,9 persen; Kota Mataram 23,3 persen; dan Lombok Barat 27,3 persen.

“Sedangkan dua daerah lainnya masuk kategori zona hijau. Yaitu, Sumbawa Barat 18,2 persen dan Dompu 19,8 persen,” kata Fikri.

Ia menjelaskan, tingginya angka stunting di dua daerah itu disebabkan kurangnya pendampingan keluarga oleh pemerintah desa. Berdasarkan data Dinas Kesehatan NTB, 54 persen keluarga di NTB tidak mendapat pendampingan stunting.

Yang memiliki peran untuk pendamping stunting adalah para kader, pendamping desa, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

“Kelompok usia yang rentan stunting analisisnya pada rentan usia 24 sampai 36 bulan,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur NTB, Indah Dhamayanti Putri mengatakan, Pemprov NTB akan melakukan intervensi terhadap daerah-daerah stunting di NTB, khususnya KLU dan Lombok Timur.

“Tetap akan ada sentuhan untuk kabupaten/kota yang lain. Tetapi akan lebih banyak intervensi pada dua kabupaten itu,” ujarnya.

Beberapa program yang akan dicanangkan Pemprov NTB untuk mengatasi stunting, yaitu dengan menggalakkan rencana aksi orang tua asuh yang akan dilakukan selama 90 hari. Selain itu, Pemprov juga akan melaksanakan program bakti stunting yang digagas oleh pemimpin sebelumnya.

“Itu yang sedang kita bahas. Kita saat ini sedang menyamakan data by name by address,” katanya. (*)

IKLAN

Muhammad Yamin

Jurnalis NTBSatu

Berita Terkait

Back to top button