Pembahasan APBD 2026 Lamban, Pemprov NTB Dapat Teguran Kemendagri
Mataram (NTBSatu) – Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB Tahun 2026 dinilai lamban. Tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. Akibatnya, mendapat teguran dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Juru Bicara Banggar DPRD NTB, Sambirang Ahmadi menyampaikan, Kemendagri menyoroti ketidaksesuaian sebagian tahapan dan jadwal penyusunan APBD. Khususnya, pada proses penyusunan Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Di mana tidak sepenuhnya mengikuti batas waktu yang telah ditetapkan secara nasional.
“Kondisi ini dinilai berpotensi menurunkan kualitas perencanaan dan menjadi catatan penting, agar Pemprov NTB ke depan lebih disiplin dalam mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran daerah sesuai ketentuan aturan penyusunan KUA-PPAS,” kata Sambirang saat menyampaikan laporan hasil pembahasan evaluasi Kemendagri atas Raperda APBD NTB 2026 dalam Rapat Paripurna DPRD NTB, Minggu, 28 Desember 2025.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 tahun 2020, kepala daerah menyampaikan rancangan KUA dan PPAS kepada DPRD NTB paling lambat Minggu kedua bulan Juli.
“Tahapan penyusunan dan pengajuan KUA dan PPAS juga diatur dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” ujarnya.
Sebagai informasi, Pemprov NTB telah menyampaikan Raperda tentang APBD Tahun Anggaran 2026 kepada Kemendagri untuk dilakukan evaluasi.
Dokumen itu sudah dikaji dan menjadi laporan Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB dalam rapat paripurna pada Minggu malam, 28 Desember 2025.
Sambirang mengatakan, hasil evaluasi Kemendagri pada prinsipnya menyatakan, RAPBD NTB dapat dilanjutkan. Namun, wajib dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).
“Evaluasi ini bertujuan memastikan kesesuaian RAPBD dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum. Serta, keselarasan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah,” ujarnya.
Selain menyoroti ketidaksesuaian jadwal, terdapat beberapa poin menjadi catatan Kemendagri. Pertama, dari sisi pendapatan daerah. Kemendagri menekankan pentingnya kehati-hatian dan rasionalitas dalam penetapan target Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Target PAD APBD NTB 2026 dinilai perlu disesuaikan dengan potensi riil dan tren realisasi beberapa tahun terakhir. Tujuannya, agar tidak terjadi over-estimasi yang dapat menimbulkan tekanan fiskal, defisit anggaran, maupun keterlambatan pembayaran kewajiban daerah,” kata Sambirang.
Evaluasi juga menegaskan perlunya optimalisasi pajak dan retribusi daerah melalui perbaikan tata kelola, intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan. Serta, pemanfaatan digitalisasi sistem pendapatan.
Sambirang berharap, peningkatan pendapatan daerah tidak hanya bergantung pada kenaikan target, tetapi ditopang oleh perbaikan sistem, basis data wajib pajak, dan peningkatan kepatuhan.
Kemudian, dari sisi belanja daerah, lanjut Sambirang, Kemendagri mengingatkan agar struktur belanja APBD NTB Tahun 2026 lebih berorientasi pada belanja wajib, mandatory spending, dan pemenuhan standar pelayanan minimal.
Catatan Kemendagri, belanja daerah tidak boleh berbasis pemerataan antar-perangkat daerah, melainkan harus berbasis prioritas pembangunan dan kinerja. Serta, memberikan dampak nyata bagi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan Pajak Rokok dan JKN Harus Sesuai
Kemendagri memberikan perhatian khusus pada kepatuhan terhadap pengelolaan pajak rokok dan pendanaan jaminan kesehatan nasional (JKN).
“Pemprov NTB wajib memastikan alokasi dan penggunaan dana tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Baik dari sisi persentase alokasi maupun tujuan penggunaannya. Hal ini guna menghindari temuan dan sanksi administratif,” ujarnya.
Terhadap keseluruhan hasil evaluasi tersebut, Kemendagri menegaskan Pemprov NTB wajib menindaklanjutinya secara sungguh- sungguh dan konsisten. Apabila hasil evaluasi tersebut tidak ditindaklanjuti, maka sesuai ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi.
“Sanksi ini berupa penundaan atau pemotongan dana transfer ke daerah. Sehingga, kepatuhan terhadap hasil evaluasi menjadi prasyarat penting dalam penetapan dan pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2026,” jelasnya.
Terhadap sejumlah catatan Kemendagri tersebut, Banggar DPRD NTB telah melakukan pembahasan dan kajian mendalam. Banggar DPRD NTB memberikan sejumlah catatan kritis.
Pertama, Banggar DPRD NTB menekankan pentingnya peningkatan disiplin perencanaan dan ketepatan waktu dalam penyusunan APBD. Dengan menjadikan hasil evaluasi Kemendagri sebagai pembelajaran serius agar seluruh tahapan RKPD, KUA dan PPAS hingga RAPBD pada tahun-tahun mendatang dapat disusun tepat waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, menekankan perlunya kehati-hatian dan rasionalitas dalam penetapan target pendapatan asli daerah, yang harus disesuaikan dengan potensi riil daerah, tren realisasi tahun-tahun sebelumnya. Serta asumsi makro ekonomi yang terukur, guna menghindari tekanan fiskal, defisit anggaran, dan potensi tunggakan kewajiban daerah.
Ketiga, mendorong optimalisasi pajak dan retribusi daerah melalui perbaikan tata kelola pendapatan, digitalisasi pemungutan, perluasan basis wajib pajak dan objek pajak. Serta peningkatan kepatuhan dan pengawasan, sehingga peningkatan pendapatan daerah dapat dicapai secara berkelanjutan.
Keempat, dari sisi belanja, Banggar menegaskan perlunya penguatan kualitas belanja daerah dengan memastikan APBD 2026 lebih berorientasi pada pemenuhan belanja wajib, mandatory spending, dan standar pelayanan minimal, serta mengurangi belanja yang kurang berdampak langsung terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Kelima, Banggar menekankan kewajiban Pemprov NTB untuk mematuhi sepenuhnya ketentuan pengelolaan pajak rokok dan pendanaan jaminan kesehatan nasional, baik dari sisi penganggaran maupun realisasi, disertai transparansi dan akuntabilitas agar tidak menimbulkan temuan dan sanksi administratif di kemudian hari.
Keenam, merekomendasikan evaluasi dan reformasi badan usaha milik daerah secara berkelanjutan dan berbasis kinerja, dengan penyertaan modal daerah yang dilakukan secara selektif dan terukur, serta berorientasi pada manfaat ekonomi nyata dan peningkatan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah.
Ketujuh, menekankan pentingnya penguatan akuntabilitas dan pengawasan pelaksanaan APBD, termasuk melalui pelaporan berkala kepada DPRD, agar setiap program dan kegiatan dapat diawasi secara efektif dan dilaksanakan sesuai prinsip tata kelola keuangan daerah yang baik.
Delapan, Banggar memberikan perhatian serius terhadap porsi belanja pegawai yang melebihi 30 persen, yang berpotensi bertentangan dengan semangat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah, sehingga diperlukan pengendalian dan penyesuaian belanja pegawai secara bertahap agar struktur APBD menjadi lebih sehat dan produktif.
Terakhir, Banggar mengapresiasi program sewa mobil listrik karena ini menunjukkan komitmen transisi menuju energi bersih – net zero emission (nze). Namun demikian, badan anggaran menegaskan agar pelaksanaan program sewa mobil listrik benar-benar berdasarkan pada kajian yang mendalam, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik, mencakup analisis ekonomi, fiskal, dan manfaat publik.
“Implementasi program tersebut harus selaras dengan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri. Dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan efisiensi, tidak menggeser belanja prioritas pelayanan publik, dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah. Serta, tidak menimbulkan beban fiskal baru bagi Pemprov NTB,” tutupnya. (*)



