HEADLINE NEWS

Perempuan yang Menantang Jarak: Perjalanan CPMI NTB di Kota Malang

Mataram (NTBSatu) – Jumat sekitar pukul 11.30 WIB, bus pariwisata yang mengangkut puluhan Wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Parlemen (FWE) tiba di salah satu tempat pelatihan Calon Pekerja Imigran Indonesia (CPMI) di Malang, Jawa Timur.

Tempat itu bernama Balai Latihan Kerja (BLK) Central Karya Semesta PT Citra Karya Sejati (CKS). Lokasinya di Jalan Raya Kromengan, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Perusahaan ini juga memiliki cabang di Lombok.

Melewati pintu masuk, bus yang membawa rombongan dari NTB disambut dua penjaga. Mereka sudah berdiri di depan. Mengisyaratkan selamat datang di tempat kami.

Di dalam, sekitar ratusan calon PMI menyambut. Mengenakan seragam merah hitam. Seragam latihan yang disediakan perusahaan.

Kebanyakan mereka berasal dari NTB. Mereka datang dari kampung-kampung yang jauh, membawa cerita hidup yang berbeda, namun memikul beban yang hampir sama: ekonomi keluarga yang rapuh, orang tua yang menua, dan anak-anak yang membutuhkan asa.

“Jumlah totalnya kurang lebih 80-90 CPMI di CKS berasal dari NTB. Sudah diberangkatkan dari sejauh ini 1000 hingga 2000 orang,” kata Manager Operasional PT CKS, Lily.

CKS kini melatih peserta untuk ditempatkan di empat negara utama seperti Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Pembekalan bahasa, budaya kerja, hingga keterampilan rumah tangga diberikan secara intensif.

“Puluhan orang yang sedang melakukan pelatihan saat ini, akan bekerja pada sektor informal atau pengurus rumah tangga,” ujarnya.

Harapan besar dari PMI

Terpancar tekad yang tajam, Widiawati, perempuan 22 tahun asal Desa Sukarara, Lombok Tengah, memiliki harapan besar menjadi PMI.

Widiawati adalah satu dari puluhan perempuan desa yang kini menjalani pelatihan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Kota Malang. Jauh dari tempat tinggalnya di Lombok.

“Tapi ini semua untuk masa depan anak dan masa tua saya,” katanya.

Di pelatihan ini, Widiawati dan teman-temannya belajar banyak hal: mengolah makanan, merawat lansia, berbahasa asing, hingga mengelola emosi ketika rindu pada keluarga menyergap tiba-tiba. Semua keterampilan itu mereka siapkan sebagai bekal sebelum berangkat ke negara tujuan.

Widiawati sudah menjalani latihan di tempat tersebut selama tiga bulan. Di ruang pelatihan itu, masa depan seperti dijahit perlahan. Kadang benangnya kusut, kadang tersangkut, tapi selalu ada tangan-tangan sabar yang mencoba mengatur ulang arah.

“Udah tiga bulan di sini. Tinggal nunggu Paspor, sudah mau terbang,” ujarnya.

Negara tujuan ibu dari tiga anak ini adalah Malaysia. Di Negeri Jiran, ia bekerja pada sektor pekerjaan rumah tangga “Job saya itu cuman masak, bersih-bersih, tidak ada jaga babby dan orang tua,” katanya.

Menjadi PMI bukanlah pilihannya. Bukan pula, karena tidak ada pekerjaan di kampung halamannya. Hanya saja, penghasilannya di kampung tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-harinya. “Gajinya di daerah tidak sesuai,” singkatnya.

CPMI asal Sukarara, Lombok Tengah, NTB, mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) Central Karya Semesta PT Citra Karya Sejati (CKS). Foto: Muhammad Yamin

Widiawati merupakan seorang janda, ia sudah dicerai oleh suaminya. Karena itu, motivasinya bekerja ke luar negeri adalah untuk masa depan anak dan masa tuanya.

“Rencana di Malaysia InsyaAllah sampai finish kontrak dua tahun, dan jika majikan saya baik saya akan lanjutkan kontrak,” ujarnya.

Menggadai Kenyamanan, Menjemput Risiko

Menjadi PMI berarti menggadaikan rasa aman, bahkan seringkali mengadu nasib pada negara lain yang tak selalu ramah. Namun Muhniwati, perempuan asal Kayangan, Lombok Timur, menyadari itu. Namun, ia memilih berangkat.

Bagi perempuan desa sepertinya, pilihan kadang hanya dua: bertahan dalam kemiskinan atau mencoba peruntungan di luar negeri.

“Mau tidak mau harus kerja ke luar negeri, karena di rumah kekurangna uang. Selain itu untuk bantu biayai anak sekolah,” tutur Muhniwati memelas.

Prosesnya tak mudah. Ia harus menjalani latihan dan meninggalkan keluarganya di rumah.

Di pusat pelatihan, ia menghabiskan hari-hari panjang belajar bahasa, merawat lansia, hingga bagaimana mengurus rumah tangga dengan standar negara penempatan.

Malam-malam di asrama adalah ujian lain. “Saya sering menangis diam-diam. Kangen anak-anak. Tapi saya harus kuat,” kisahnya.

Sama seperti Widiawati, Muhniwati juga sudah ditinggal suaminya. Mengharuskannya bekerja di negara orang demi menghidupkan keluarga kecilnya.

Ia sudah menjalani pelatihan di CKS selama tiga bulan. Negara tujuannya di Hongkong sebagai pekerja rumah tangga.

Pemprov NTB melalui perwakilan Disnakertrans NTB, Pradipta Himawan Putra mengapresiasi kedisiplinan dan komitmen PT CKS dalam menjalankan proses pelatihan sesuai standar yang ditetapkan pemerintah.

“PT CKS termasuk perusahaan yang tertib administrasi dan mengikuti seluruh regulasi. Kami berharap peserta asal NTB terus meningkatkan kompetensi, menjaga etika kerja, dan memanfaatkan hasil kerja dengan baik untuk membangun ekonomi keluarga sepulang dari luar negeri,” ujarnya. (*)

IKLAN

Muhammad Yamin

Jurnalis NTBSatu

Berita Terkait

Back to top button