OpiniWARGA

Banjir Mataram: Ketika Langit, Laut, dan Manusia Bersatu Menjadi Bencana

Oleh: Prof. Joni Safaat, Ph.D. – Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Muhammadiyah Mataram

Banjir yang melanda Kota Mataram pada 6 Juli 2025 bukan sekadar akibat hujan deras semata. Di balik genangan yang melumpuhkan jalan, rumah, dan aktivitas warga, tersimpan rangkaian sebab yang saling berkait dari langit yang mengguyur deras, laut yang sedang pasang, hingga perilaku manusia yang abai terhadap alam.

Data dari BMKG menunjukkan bahwa sekitar pukul 12.30 Wita, curah hujan mencapai puncaknya 110 mm dalam waktu singkat bertepatan dengan kondisi pasang laut maksimum harian. Inilah yang disebut backwater effect, yaitu tekanan balik dari laut yang menghambat aliran air sungai menuju muara. Alhasil, air sungai tertahan dan meluap lebih cepat ke pemukiman bantaran.

Namun, langit dan laut tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Transformasi tata guna lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ancar memperparah kondisi. Daerah resapan air yang dulunya menjadi zona penahan kini berubah menjadi permukaan keras yang memantulkan air secara cepat. Run-off meningkat, sementara sungai dan drainase kota tidak lagi mampu mengalirkannya dengan baik.

IKLAN

Ironisnya, sampah plastik, material konstruksi, dan limbah rumah tangga yang dibuang sembarangan turut menyumbat saluran air. Drainase kota yang sempit dan dangkal akibat sedimentasi pun menjadi titik lemah yang mempercepat genangan. Sungai kehilangan daya tampungnya, sementara air tidak punya jalan keluar.

Apa Solusinya?

Menghadapi risiko banjir ini, kita tak bisa lagi berpikir parsial. Solusi harus holistik dan bertahap:

Jangka pendek, yang paling mendesak adalah pembersihan saluran air dan drainase, penegakan aturan larangan buang sampah di sungai, serta pemasangan flap gate di muara sungai untuk menahan air laut saat pasang.

IKLAN

Jangka menengah, diperlukan normalisasi sungai, pelebaran penampang aliran, pembangunan kolam retensi, dan pembuatan sumur resapan di kawasan hulu yang padat.

Jangka panjang, kita harus mulai dari hulu: rehabilitasi lahan, penghijauan kembali, penegakan tata ruang, serta sistem peringatan dini berbasis sensor banjir yang cerdas dan real-time. Di atas semua itu, perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi kunci utama.

Banjir di Mataram bukan sekadar bencana alam. Ini adalah cermin dari hubungan kita dengan alam yang mulai retak. Jika kita tak segera mengubah cara pandang dan perilaku, maka air bukan lagi berkah, tapi bisa menjadi malapetaka yang terus berulang. (*)

IKLAN

Berita Terkait

Back to top button