Oleh: Putu Yudhistira – Wasekum PSOI Pengprov NTB
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), baru saja merilis Calendar of Events 2025 dengan total 58 acara yang akan digelar sepanjang tahun. Dari festival budaya hingga olahraga ekstrem, seperti paragliding dan trail running. Kalender ini tampaknya cukup beragam. Namun, ada satu hal yang sangat mengejutkan: tidak ada satu pun acara selancar (surfing) yang masuk dalam daftar tersebut.
Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama komunitas surfing dan pelaku industri pariwisata di NTB. Para pemilik surf camp, sekolah selancar, hingga operator tur telah lama menggantungkan harapan pada event surfing sebagai magnet bagi wisatawan. Ketiadaan event surfing dalam Calendar of Events 2025 bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi sinyal bahwa pemerintah belum menyadari besarnya peran surfing dalam ekonomi lokal.
Padahal, Lombok dan Sumbawa dikenal dunia sebagai destinasi surfing kelas dunia. Ombak di Pantai Lakey, Desert Point, hingga Selong Belanak telah menarik ribuan peselancar dari berbagai penjuru dunia. Wisatawan asing yang datang ke NTB hampir selalu memiliki satu tujuan utama: menikmati ombak dan beach life yang ditawarkan Lombok dan Sumbawa. Lalu, mengapa justru kegiatan rekreasional yang menjadi daya tarik utama ini diabaikan dalam perencanaan acara tahunan pariwisata?
Industri Surfing: Potensi Ekonomi yang Besar
Industri selancar global bukan sekadar hobi, tetapi sebuah sektor ekonomi bernilai miliaran dolar. Menurut laporan Grand View Research, pada tahun 2023, pasar pariwisata selancar global diperkirakan bernilai USD 65,30 miliar dan diproyeksikan tumbuh dengan CAGR sebesar 5,8 persen dari tahun 2024 hingga 2030.
CAGR (Compound Annual Growth Rate) adalah tingkat pertumbuhan tahunan gabungan, yang digunakan untuk mengukur rata-rata pertumbuhan tahunan suatu investasi, industri, atau sektor dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks industri selancar, CAGR sebesar 5,8 persen berarti bahwa nilai pasar pariwisata selancar global diperkirakan akan tumbuh rata-rata 5, persen setiap tahunnya hingga 2030. Data ini menunjukkan bahwa wisata selancar adalah industri yang terus berkembang dan memiliki dampak ekonomi yang besar bagi daerah tujuan wisata.
Ambil contoh Australia, yang merupakan pasar utama bagi pariwisata NTB, memiliki pengeluaran besar dalam industri surfing. Menurut laporan dari Surfing Australia, industri selancar di negara tersebut bernilai lebih dari AUD 3 miliar per tahun. Studi dari Australian National University (ANU) menunjukkan terdapat sekitar 2,5 juta peselancar rekreasional di Australia, dengan 420.000 partisipan selancar tahunan, 107 sekolah selancar, dan 2.292 pelatih bersertifikat.
Lebih dari 1 dari 10 warga Australia menjadikan selancar sebagai aktivitas rekreasi mereka. Setiap tahun, peselancar Australia rata-rata menghabiskan sekitar AUD 3.719 untuk selancar, yang mencakup AUD 1.858 untuk ritel dan AUD 1.861 untuk perjalanan. Mengabaikan potensi ini berarti kehilangan peluang besar untuk menarik lebih banyak wisatawan dengan daya beli tinggi.
Belajar dari Kabupaten Pesisir Barat, Lampung
Salah satu contoh nyata bagaimana industri surfing dapat meningkatkan jumlah wisatawan asing adalah Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Dengan hanya mengandalkan satu pantai utama, Pantai Krui, kabupaten ini telah berhasil menarik semakin banyak wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun melalui fokus yang jelas pada industri surfing.
Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Pesisir Barat, jumlah wisatawan asing yang datang ke daerah ini meningkat secara signifikan sebelum pandemi Covid-19. Tahun 2015, Kabupaten Pesisir Barat hanya kedatangan 8.866 wisatawan mancanegara. Jumlah ini melesat menjadi 41.106 wisman pada tahun 2019.
Peningkatan jumlah wisatawan ini tidak lepas dari strategi promosi dan event surfing yang rutin digelar, termasuk ajang World Surf League (WSL). Keberhasilan ini membuktikan bahwa dengan pengelolaan yang baik, destinasi surfing dapat menjadi magnet wisata yang kuat.
Sekarang, bayangkan jika NTB yang memiliki puluhan pantai kelas dunia untuk surfing, mengadopsi strategi serupa. Jika hanya dengan satu pantai, Kabupaten Pesisir Barat mampu menarik puluhan ribu wisatawan asing, maka potensi NTB dengan berbagai spot surfing unggulan tentu jauh lebih besar. Namun, tanpa perhatian serius dari pemerintah daerah, potensi ini akan terus terbuang sia-sia.
Kehilangan Momentum dan Daya Saing
Indonesia telah lama menjadi surga bagi peselancar internasional. Bali, misalnya, selalu memasukkan berbagai event surfing dalam kalender pariwisatanya, termasuk World Surf League (WSL) yang menjadi ajang bergengsi tingkat dunia. Begitu pula dengan daerah lain seperti Mentawai dan Banyuwangi yang telah menjadikan surfing sebagai bagian dari strategi pariwisata mereka.
Sebagai provinsi yang memiliki pantai-pantai terbaik untuk surfing, NTB seharusnya tidak ketinggalan. Dengan tidak adanya event surfing dalam Calendar of Events 2025, NTB berisiko kehilangan momentum dan daya saingnya sebagai destinasi utama bagi peselancar internasional.
Wisatawan tidak hanya mencari ombak, tetapi juga event yang dapat memberikan pengalaman lebih lengkap, seperti kompetisi surfing, coaching clinic, atau festival budaya yang berkaitan dengan kehidupan pantai.
Seorang kawan guide di Kawasan Mandalika yang biasa menemani tamu surfing berseloroh, “Hampir tiap hari sepanjang tahun kita lihat bule datang menenteng papan surfing. Tidak pernah saya lihat bule menenteng knalpot, kecuali saat event MotoGP yang cuma seminggu. Sudah seharusnya Pemerintah memberi fokus pada surfing, bukan pada sport tourism lain.”
Tipi Jabrik, Sekretaris Umum Persatuan Selancar Ombak Indonesia (PSOI), pernah berkelakar bahwa NTB adalah “surga surfing” dengan memiliki “Old Trafford dan Santiago Bernabeu of surfing”. Namun, ia heran mengapa Pemerintah NTB tidak serius menggarap surfing sebagai daya tarik utama.
Tahun lalu, saya bertemu dengan Tipi Jabrik dan ia menekankan bahwa NTB seharusnya menjadi pusat surfing dunia, bukan hanya sekadar destinasi sampingan.
Selain memiliki potensi “venues”, NTB juga memiliki talenta-talenta yang penuh prestasi di bidang surfing. Tanggal 18 Januari 2025 lalu, Bronson Meydi, peselancar muda asal Lakey Peak, Dompu, baru saja menorehkan sejarah dengan menjadi juara dunia junior surfing. Bronson adalah orang Indonesia pertama yang bisa meraih prestasi itu.
Keberhasilan Bronson menunjukkan bahwa NTB bukan hanya memiliki ombak kelas dunia, tetapi juga talenta yang mampu bersaing di panggung internasional. Sayangnya, tanpa adanya dukungan berupa event resmi di NTB, talenta-talenta seperti Bronson akan semakin sulit berkembang di daerahnya sendiri. Bronson sendiri sejak beberapa tahun terakhir memilih untuk tinggal di Bali, demi pengembangan karirnya di dunia surfing.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Dinas Pariwisata NTB seharusnya segera melakukan evaluasi dan menambahkan event surfing ke dalam kalender pariwisata. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Mengadakan Kompetisi Surfing Internasional – Menggandeng World Surf League (WSL) atau asosiasi surfing nasional untuk menyelenggarakan kejuaraan bertaraf internasional yang bisa menarik peselancar dari seluruh dunia.
- Festival Surfing dan Beach Life – Event yang tidak hanya mencakup kompetisi, tetapi juga konser musik, bazar produk lokal, hingga workshop surfing untuk pemula.
- Kolaborasi dengan Komunitas Surfing – Menggandeng komunitas surfing lokal dan internasional untuk menciptakan event yang lebih organik dan menarik bagi peselancar profesional maupun amatir.
- Pemasaran yang Lebih Fokus ke Wisatawan Surfing – Menggunakan strategi pemasaran yang lebih spesifik dan menargetkan pasar wisatawan surfing, khususnya dari Australia, Eropa, dan Amerika.
Penutup
Pariwisata NTB memiliki potensi luar biasa, dan surfing adalah salah satu daya tarik utamanya. Dengan tidak adanya event surfing dalam Calendar of Events 2025, Pemerintah Provinsi NTB telah melewatkan peluang besar untuk meningkatkan daya tarik destinasi dan meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata.
Jika NTB ingin tetap kompetitif di kancah pariwisata dunia, maka penting untuk segera mengambil langkah konkret dan memasukkan event surfing sebagai bagian dari strategi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. (*)