
Mataram (NTBSatu) – Ombudsman RI Perwakilan NTB menyoroti praktik rangkap jabatan sejumlah pejabat Pemprov terkait pengusulan menjadi komisaris non-independen di empat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Kepala Ombudsman NTB, Dwi Sudarsono menilai, pengisian posisi sejumlah pejabat Pemprov NTB tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menghambat tata kelola pemerintahan yang baik.
Bagaimana mereka menjalankan tugasnya harus tetap netral dan profesional dalam pelayanan publik, tanpa terganggu oleh kepentingan bisnis.
Alasan pertama, kata Dwi, calon-calon yang diusung adalah pelaksana pelayanan publik sekaligus pimpinan penyelenggara pelayanan publik.
“Kedua, jabatan ganda ini khawatirnya akan membuat pelayanan publik tidak optimal,” tegas Dwi Sudarsono, Sabtu, 15 Februari 2025.
Tanpa bermaksud meragukan, ia mengatakan untuk mengetahui kompetensi para calon komisaris, Pemda NTB harus memilih komisaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga demi kepentingan pelayanan publik bagi masyarakat NTB. “Kalau perlu pemilihan komisaris dilakukan dengan proses fit and proper test,” imbuhnya.
Polemik ini mencuat setelah beredarnya surat yang Pj Gubernur NTB, Hassanudin tandatangani tertanggal 30 November 2024.
Surat bernomor 700/1695.6-XI/Set.Ev-INSP/2024 tersebut untuk kepada berbagai pihak, termasuk Menteri Dalam Negeri, Inspektur Jenderal Kemendagri, Sekretaris Daerah NTB, serta Inspektur Provinsi NTB.
Berdasarkan dokumen yang NTBSatu terima, empat pejabat itu adalah sebagai komisaris non-independen di BUMD Provinsi NTB adalah:
- Lalu Gita Ariadi (Sekda NTB) – Komisaris Non-Independen PT Bank NTB Syariah
- Fathul Gani (Asisten II Setda NTB) – Komisaris Non-Independen PT BPR NTB
- Wirajaya Kusuma (Kepala Biro Perekonomian Setda NTB) – Komisaris Non-Independen PT Jamkrida NTB Syariah
- Ahaddi Bohari (Pejabat Fungsional Madya BUMD/BLUD Biro Perekonomian Setda NTB) – Komisaris Non-Independen PT GNE.
Indikasi Pelanggaran dan Mekanisme Pengawasan
Pengangkatan pejabat publik sebagai komisaris di BUMD kemudian memunculkan pertanyaan kritis terkait kepatuhan terhadap UU Pelayanan Publik dan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD.
Inspektorat Jenderal Kemendagri sebelumnya telah menemukan sejumlah pelanggaran dalam Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah NTB Tahun Anggaran 2024. Termasuk ketidaksesuaian komposisi komisaris dan direksi BUMD dengan regulasi.
Dalam temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kemendagri meminta Pemprov NTB menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Tujuannya merekomposisi kepengurusan sesuai aturan.
Menanggapi hal ini, Wirajaya Kusuma membenarkan keberadaan surat tersebut.
“Ya, benar. Surat ini menindaklanjuti ketentuan PP 54 Tahun 2017 dan temuan Inspektorat Jenderal Kemendagri yang menegaskan bahwa komisaris non-independen harus berasal dari ASN aktif sebagai perwakilan pemegang saham pengendali,” ujarnya.
Namun, kritik muncul terkait efektivitas pengawasan terhadap pejabat yang merangkap jabatan ini.
Praktik rangkap jabatan di BUMD bukanlah isu baru di Indonesia. Tetapi tetap menjadi perdebatan hangat karena dampaknya terhadap integritas birokrasi dan pelayanan publik. (*)