Mataram (NTBSatu) – Kejahatan lingkungan hidup di NTB telah menjadi isu yang mengakar dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini semakin mencuat akibat dampaknya yang meluas terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Mulai dari tambang emas ilegal di Sekotong, tambang pasir besi yang dikelola PT Anugrah Mitra Graha (AMG). Hingga kerusakan ekosistem terumbu karang oleh PT Tiara Cipta Nirwana (TCN).
Semuanya mencerminkan lemahnya pengawasan dan minimnya keberpihakan terhadap masyarakat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB, Amri Nuryadin menegaskan, pemerintah harus segera bertindak sigap untuk menghentikan kerusakan ini.
“Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut hak asasi masyarakat yang selama ini terabaikan,” tegas Amri dalam Diskusi Refleksi Kerusakan Lingkungan NTB Tahun 2024, Senin, 30 Desember 2024.
Tambang Emas Ilegal Sekotong
Di Sekotong, tambang emas ilegal telah beroperasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) sejak 2021. Meskipun izin usaha pertambangan (IUP) resmi dimiliki PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB).
Namun, papan tanda IUP baru terpasang pada Agustus 2024, bertahun-tahun setelah tambang ilegal beroperasi. Modus operandi yang diduga melibatkan pemilik IUP dan operator tambang ilegal menambah pelik persoalan ini. Akibatnya, kerusakan lingkungan menjadi tak terhindarkan, dengan pencemaran merkuri mengancam ekosistem dan kesehatan masyarakat sekitar.
Tidak jauh berbeda, tambang pasir besi yang pengelolaannya oleh PT AMG di Lombok Timur telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif.
Sejak operasionalnya mulai pada 2010, Pantai Dedalpak mengalami degradasi parah, termasuk munculnya enam kubangan besar pasca tambang yang merusak ekosistem pesisir.
“Tambang ini adalah contoh nyata bagaimana perusahaan hanya mengambil keuntungan tanpa memikirkan dampak jangka panjang,” beber Amri.
Dampaknya mencakup abrasi sawah hingga 50 meter, yang menyebabkan gagal panen petani. Kemudian, kerusakan jalan akses publik, dan peningkatan kasus ISPA pada anak-anak akibat debu tambang.
Selain itu, keuntungan tambang sebesar Rp42 miliar justeru terdapat skandal korupsi besar-besaran yang menyeret delapan pejabat. Termasuk Kepala Cabang PT AMG, Rinus Adam Wakum, dengan vonis 14 tahun penjara. Namun, Amri menilai bahwa hukuman ini belum cukup untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi.
“Kerugian lingkungan jauh lebih besar daripada hukuman yang dijatuhkan. Apa yang mereka tinggalkan adalah kehancuran bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Sementara itu, di kawasan Gili Matra, kerusakan ekosistem terumbu karang mencapai skala yang mengkhawatirkan.
Aktivitas penyulingan air laut oleh PT TCN, menggunakan metode Horizontal Directional Drilling (HDD) dengan bahan kimia seperti bentonite, telah menghancurkan terumbu karang seluas 1.660 meter persegi.
Investigasi menunjukkan kualitas air laut di sekitar lokasi pencemaran berada di bawah standar, dan limbah salinitas tinggi memperburuk kondisi ekosistem laut.
“Kerusakan di Gili Matra ini adalah tamparan keras bagi NTB yang selama ini mengandalkan pariwisata bahari. Ketika terumbu karang rusak, kita tidak hanya kehilangan keindahan alam tetapi juga sumber penghidupan masyarakat,” ungkap Amri.
Lebih ironis lagi, meskipun Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memerintahkan penghentian operasi, PT TCN tetap melanjutkan aktivitasnya.
Krisis air bersih di kawasan Gili Matra juga menambah beban masyarakat. Warga terpaksa membeli air galon dengan harga tinggi, sementara peternak mengalami kerugian besar akibat kematian ternak karena kekurangan air.
Sebanyak 10 sapi dan 12 kambing dilaporkan mati, dan peternak lainnya terpaksa menjual ternak mereka dengan harga murah.
“Ini adalah bentuk nyata dari kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya air yang seharusnya menjadi hak dasar masyarakat,” kritik Amri.
Walhi NTB mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani kasus-kasus ini. Di antaranya, menegakkan hukum secara tegas terhadap perusahaan yang melanggar, memulihkan lingkungan yang rusak. Serta, memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak.
“Kita membutuhkan komitmen nyata untuk menghentikan eksploitasi ini. Jangan sampai NTB hanya menjadi ladang keuntungan bagi segelintir pihak, sementara rakyatnya menderita,” pungkas Amri.
Kasus kejahatan lingkungan hidup ini adalah peringatan keras, bahwa pengelolaan sumber daya alam membutuhkan transparansi, keberanian menegakkan hukum dan keberpihakan pada masyarakat.
Jika penangananya tidak segera, maka warisan alam NTB yang tak ternilai ini akan hilang, meninggalkan kehancuran bagi generasi mendatang. (*)