Mataram (NTBSatu) – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) NTB, memprotes aksi pengusiran pendamping korban kekerasan seksual oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin, 23 Juni 2025.
Perwakilan koalisi, Joko Jumadi menjelaskan, hakim dalam hal ini tidak memedulikan hak-hak korban. Ia menilai pengusiran akan menjadi preseden buruk bagi peradilan di NTB.
“Hal ini merupakan pelanggaran dalam ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ungkap Joko kepada wartawan.
Peraturan itu UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Dalam UU itu menjelaskan berbagai regulasi terkait dengan penanganan perkara kekerasan seksual. Termasuk hak dan kewajiban dari saksi, pelaku, hakim, hingga korban kekerasan seksual.
“Dalam setiap tahapan, termasuk dalam pemeriksaan persidangan, korban itu berhak untuk didampingi,” tegas Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram ini.
Sebagai informasi, majelis hakim pendamping sekaligus penasihat hukum korban, Imam Jazuni dari ruang sidang pada Rabu, 18 Juni 2025. Agendanya saat itu adalah pemeriksaan saki. Ketua Majelis Hakim yakni hakim Dian Wicayanti.
Menurut pengakuan Jazuni, ia dan ibu korban sempat ditanya hakim Dian mengenai identitasnya. Jazuni pun menjawab, ia merupakan penasihat hukum korban yang kala itu berlaku sebagai saksi.
Akan tetapi, hakim Dian menolak kehadiran keduanya. Begitu pula dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Mataram, Baiq Sri Saptianingsih.
“Pengacara terdakwa juga suruh saya keluar. JPU-nya terus bilang, ‘ikutin aja mas’. Kami dibentak untuk keluar. Akhirnya saya dan ibu keluar dari ruang sidang,” terang Jazuni.
Saat itu, pihaknya sudah meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan kembali keputusan pengusirannya dan sang ibu korban. Namun, hakim tetap pada pendiriannya.
“Saya bilang, ‘kalau saya tidak boleh masuk, biarkan ibu korban masuk untuk mendampingi’,” ujar Jazuni.
Pengusiran atas Jazuni dan ibu korban, kemudian membuat korban menjadi saksi tanpa didampingi siapa-siapa. Hal ini yang kemudian menjadi perhatian Joko Jumadi dan rekan-rekannya.
Gagal Audiensi
Upaya permohonan audiensi yang KOMPAKS NTB lakukan tidak membuahkan hasil. Mereka harus kembali dengan tangan kosong setelah menunggu selama kurang lebih satu jam. Joko dan rekan-rekannya tidak mendapatkan jawaban dari Ketua PN Mataram, Mahendrasmara Purnamajati.
Joko membawa dua buah surat pengaduan atas pengusiran yang Majelis Hakim lakukan, untuk diserahkan ke Ketua PN Mataram. Mereka datang untuk sekalian berdiskusi dengan ketua untuk menemukan titik temu dalam kasus ini.
“Katanya, kalau masalah seperti ini bisa ditujukan kepada beliau, tidak perlu sampai ke Ketua PN,” tutur akemisi Universitas Mataram (Unram) tersebut.
Sementara Humas PN Mataram, Kelik Trimargo mengatakan, dalam kasus kekerasan seksual, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam ruang sidang.
Menurutnya, pendamping korban hanya untuk masuk ke ruang sidang, namun hanya atas nama lembaga khusus. Hal ini mengingat sidang kekerasan seksual berlangsung secara tertutup.
“Hanya lembaga khusus, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), atau Dinas Sosial, itupun harus menyertakan surat tugas resmi dari kantornya untuk menjadi pendamping di pengadilan,” terang Kelik.
Ada perbedaan pendapat antara kronologis kejadian pengusiran Imam Jazuni oleh Majelis Hakim. Saat itu, Kelik menjadi anggota Majelis Hakim dalam perkara kekerasan seksual ini.
“Saat itu dia (Jazuni) bilang kalau dia teman korban, kalau tidak salah,” ucapnya. (*)