Mataram (NTBSatu) – Dalam upaya mendukung transisi energi bersih dan mengurangi emisi karbon, Pemerintah Indonesia bersama International Partners Group (IPG) secara resmi meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.
Peluncuran ini menjadi tonggak bersejarah dalam pembiayaan transisi energi dengan total pendanaan mencapai USD 21,6 miliar pada 2023.
Dukungan tersebut, terdiri dari USD 10 miliar dari anggota IPG dan USD 10 miliar. Sumber ini terfasilitasi oleh GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) untuk pendanaan swasta.
Perwakilan Sekretariat JETP, Kemala Fabrian menjelaskan, kolaborasi ini merupakan langkah konkret. Hal ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan di sektor ketenagalistrikan.
“JETP Indonesia menargetkan puncak emisi maksimal 290 MTCO₂ pada tahun 2030, turun dari baseline 357 MTCO₂. Setelah mencapai puncaknya, emisi akan terus menurun dengan cepat,” ungkap Kemala pada NTBSatu, Rabu, 18 Desember 2024 di Mataram.
JETP juga menekankan peningkatan penggunaan energi terbarukan (EBT), dengan target mencapai 34 persen dari total pembangkit listrik pada 2030.
Target ini berarti menggandakan kapasitas energi terbarukan, berbeda dengan rencana sebelumnya.
“Ini adalah komitmen besar untuk memastikan Indonesia dapat beralih dari energi berbasis batu bara menuju energi bersih secara adil dan berkelanjutan,” tambah Kemala.
Pendanaan dan Dukungan Internasional
Dalam pernyataan bersama (Joint Statement), JETP menetapkan mekanisme mobilisasi pendanaan yang menggabungkan instrumen keuangan publik dan swasta untuk mengurangi risiko investasi.
Dengan dukungan dari bank-bank besar dunia seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered, JETP memastikan bahwa transisi energi akan dapat danai dengan baik dan berkelanjutan.
Kemala Fabrian melanjutkan, pendanaan sebesar USD 21,6 miliar ini akan terpakai untuk mempercepat penghentian PLTU batu bara dan meningkatkan investasi pada proyek-proyek energi terbarukan.
“Kami optimis pendanaan ini akan membuka peluang bagi investasi strategis dalam rantai pasokan hijau serta menciptakan 383.000 lapangan kerja baru antara tahun 2023 hingga 2030,” katanya.
Perlunya Transisi Energi
Indonesia saat ini menghadapi dampak nyata perubahan iklim, antara lain, suhu yang lebih panas meningkatkan risiko penyakit dan kebakaran hutan. Kemudian degradasi ekosistem mengancam hutan, terumbu karang, dan habitat satwa. Lalu daerah 3T menjadi lebih rentan terhadap bencana iklim.
Lalu ada bencana alam seperti banjir, longsor, dan badai semakin sering terjadi, gagal panen akibat kemarau panjang berdampak pada ketahanan pangan dan kenaikan permukaan air laut memicu abrasi dan banjir di wilayah pesisir.
Kemala menegaskan bahwa transisi energi bukan hanya soal mengurangi emisi, tetapi juga meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
“Dengan mengganti energi fosil dengan energi terbarukan, kita dapat memperlambat pemanasan global, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Dukungan Ekonomi dan Investasi Strategis
Melalui Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP), JETP akan menetapkan proyek-proyek prioritas yang mendukung rantai pasokan hijau dan energi terbarukan. Strategi ini sejalan dengan Visi Emas Indonesia 2045 dan upaya untuk menjadi anggota OECD.
Kemala menambahkan bahwa transisi energi ini juga menjadi peluang untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI). Lebih dari 325 pengelola aset global dengan total aset senilai USD 57 triliun berkomitmen untuk mencapai net zero emisi pada 2050 atau lebih cepat.
“Ini adalah kesempatan besar bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin di kawasan dalam transisi energi berkelanjutan,” pungkasnya. (*)