Mataram (NTBSatu) – Selain masalah pokok pikiran (Pokir) DPRD, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyoroti tata kelola pemerintahan di NTB. Termasuk kewajiban pengembang untuk menyelesaikan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) dan hilangnya lahan pemakaman di NTB.
“Sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan perumahan yang layak, tertata, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku,” Kasatgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria saat Sosialisasi Pencegahan Korupsi atas Pengelolaan Anggaran Pokir di Mataram, Kamis, 21 November 2024.
Berdasarkan Permendagri Nomor 9 Tahun 2009, pengembang wajib menyediakan 2 persen dari total luas kawasan pemukiman sebagai lahan pemakaman. Jika tidak, maka memberikan kompensasi berupa dana jika tidak memungkinkan.
Di Kota Mataram, Dian mencontohkan, setidaknya 31 pengembang yang belum memenuhi kewajiban PSU. Dan yang sudah memenuhi kewajiban pun belum ada yang menyerahkan lahan pemakaman.
“Selain itu, tercatat juga bahwa Lahan Sawah Dilindungi (LSD) digunakan untuk pembangunan. Yang jelas ada dugaan pelanggaran aturan dalam tata ruang,” tambahnya.
Untuk masalah dana Pokir DPRD di NTB, sebelumnya Dian Patria menyebut, Pokir seharusnya menjadi program berbasis pada kebutuhan masyarakat. Namun dalam praktiknya, banyak ditemukan adanya penyalahgunaan. Bahkan alirannya sampai kepada yayasan fiktif.
“Kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon. Ini tidak hanya menyimpang dari tujuan pembangunan, tetapi juga membuka celah korupsi,” ungkapnya.
Padahal, jika mengacu Permendagri Nomor 86 tahun 2017, peruntukkan Pokir DPRD seharusnya sebagai saran dan pendapat berdasarkan hasil reses atau penjaringan aspirasi masyarakat. Sebagai bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan, dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tetapkan. (*)