Mataram (NTBSatu) – Pengamat kebijakan publik, Dr. Adhar Hakim merespons pernyataan Mendagri Tito Karnavian soal netralitas ASN pada musim Pemilihan serentak 2024.
Mendagri menegaskan ASN harus netral, tapi bukan berarti melarang ASN berada di kerumunan kampanye. Aparatur boleh hadir asalkan pasif dan tak mengenakan atribut yang mendukung calon tertentu.
Bagi pendiri Lembaga Riset dan Konsultan Kebijakan Publik Policy Plus ini, pernyataan mantan Kapolri itu harus dilihat sebagai upaya menempatkan ASN dalam posisi ideal saat Pilkada, Pileg atau Pilpres.
“Karena sebenarnya, ASN itu baik dalam Undang-undang Pilkada maupun Pilpres, memiliki hak untuk memilih. Pernyataan Tito itu sebagai sesuatu yang sangat strategis,” kata Kepala Ombudsman dua periode ini menjawab NTBSatu, Kamis 5 September 2024.
Mengutip pernyataan Tito, ASN boleh hadiri rapat umum atau kampanye dengan batasan pasif. Artinya, aparatur tidak sedang sebagai pendukung secara terbuka kepada calon kepala daerah.
“Ini adalah jalan keluar menghindari beban ketika ASN berhadapan dengan politisasi birokrasi. Sehingga penting bagi ASN untuk punya preferensi dalam pilihan politik. Agar dia memilih kepala daerah yang tepat,” jelasnya.
Tapi hal yang ingin Adhar tekankan adalah pemahaman yang kurang tepat soal netralitas ASN ketika hadir di tempat kampanye.
Menurutnya, posisi netralitas itu harus ditunjukkan ketika dia melayani masyarakat dengan tidak menguntungkan golongan tertentu.
Larangan keras bagi ASN adalah membeda-bedakan pelayanan hanya karena berbeda pilihan politik. Memudahkan pelayanan bagi masyarakat yang sama dukungannya, mempersulit mereka yang berbeda pandangan politik.
“Itu lah ukuran netralitas. Tidak untuk memenangkan atau mengalahkan kandidat tertentu dalam kewenangannya sebagai pegawai atau pejabat negara. Tapi dia harus utuh sebagai pelayan rakyat,” tegasnya.
Minta KPU dan Bawaslu Cermati Pernyataan Tito
Karena itu, ia mengimbau kepada KPU dan Bawaslu, agar mencermati pernyataan Mendagri soal ASN itu keputusan yang baik untuk masa depan daerah yang bisa lahir dari keputusan ASN menentukan pilihan.
Selama ini ia melihat ada fenomena justifikasi bahwa kampanye adalah wilayah yang terlarang bagi birokrat.
“Oleh sebab itu, KPU maupun Bawaslu memahami norma yang ada dalam UU Pilkada itu. Saya setuju kalau ASN yang menggunakan simbol-simbol dukungan politik secara aktif, itu harus mendapat tindakan karena berarti pelanggaran,” jelasnya.
ASN harus mendapat ruang karena terbatasnya akses informasi untuk mendapatkan visi-misi kandidat di luar dari kampanye atau rapat umum.
Belum tentu mereka mendapat hard copy dan soft copy visi-misi sebelum debat atau masa kampanye. Sehingga, kesempatan bagi mereka adalah hadir langsung di lokasi kampanye, debat paslon, atau agenda terbuka lainnya.
Tapi pelanggaran dalam konteks berbeda, harus mendapat tindakan. “Terutama ketika dia diskriminasi dalam pelayanan publik, itu harus ditindak. Atau hadir secara aktif. Jadi aspek inilah yang dipantau oleh penyelenggara pemilu, dalam konteks netralitas. Harus objektif melihat itu,” pungkasnya. (*)