Daerah NTB

Tren Kekerasan Gender di NTB Meningkat, dari Rumah ke Mimbar

Mataram (NTBSatu) – Fenomena kekerasan berbasis gender (KBG) di NTB menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan.

Kekerasan tak lagi tersembunyi di balik tembok rumah atau ruang-ruang tertutup, melainkan telah menjalar ke ruang publik, institusi pendidikan, bahkan mimbar keagamaan.

Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan bukan semata-mata tindakan menyimpang individu, tetapi gejala dari sistem sosial yang membiarkan kekerasan tumbuh dalam diam.

Ketua Suara Perempuan Nusantara (SPN), Nur Khotimah menegaskan, kekerasan berbasis gender tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik. Bentuk-bentuk kekerasan lain seperti kekerasan psikis, ekonomi, hingga kekerasan simbolik sering kali luput dari perhatian.

IKLAN

Ia pun mengajak masyarakat untuk menghentikan normalisasi kekerasan yang sering kali dibungkus dengan dalih budaya, agama, atau adat.

“Banyak yang tidak sadar bahwa kekerasan bisa terjadi dalam bentuk psikis, ekonomi, bahkan simbolik. Kita harus membongkar ilusi bahwa diam adalah pilihan aman,” tegasnya dalam acara Lokakarya Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Mataram, beberapa waktu lalu.

“Diam bukan pilihan aman. Ketika kita membiarkan kekerasan terus terjadi, kita sedang mewariskan bahasa kekerasan kepada generasi berikutnya,” lanjutnya.

Kondisi ini mendorong berbagai komunitas dan organisasi, seperti SPN dan Institut Kapal Perempuan memperkuat kapasitas masyarakat dalam mencegah dan merespons KBG secara kolektif.

IKLAN

Edukasi publik, pendekatan struktural, dan pembentukan jaringan komunitas responsif menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk melawan kekerasan yang semakin tersembunyi namun terorganisir.

Ekosistem kekerasan terbentuk dari hal-hal yang dianggap sepele. Seperti komentar seksis, pengendalian tubuh perempuan, hingga pelabelan negatif terhadap korban.

“Sering kali kita mengira kekerasan itu hanya dalam bentuk tindakan ekstrem. Tapi komentar seksis, pengendalian tubuh perempuan atau pelabelan korban justru menjadi ekosistem yang memungkinkan kekerasan tumbuh subur,” ungkap salah satu fasilitator.

Mahasiswa hingga tokoh masyarakat ikut berpartisipasi

Respons positif dari peserta berbagai latar belakang memperlihatkan adanya harapan baru. Mahasiswa, aktivis, hingga tokoh masyarakat mulai menggagas aksi nyata seperti forum diskusi tingkat RT. Penyuluhan di lingkungan kampus dan pesantren, hingga pendampingan berbasis komunitas.

Hasil konsolidasi ini tidak hanya memperkuat pemahaman peserta tentang bentuk dan akar kekerasan, tetapi juga menghasilkan rencana aksi konkret.

IKLAN

“Kami tidak ingin hanya jadi penonton atau pelintas. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan, mulai dari lingkungan terdekat kami,” ujar seorang peserta, mahasiswi Universitas Mataram.

Menurut SPN, pencegahan kekerasan berbasis gender adalah tanggung jawab kolektif. Mulai dari keluarga, lingkungan tempat tinggal, kampus, hingga ruang-ruang spiritual harus terlibat aktif dalam melawan budaya kekerasan. (*)

Berita Terkait

Back to top button