Daerah NTBPemerintahan

Fahri Hamzah Ingatkan Pentingnya Rumah Rakyat – Ancaman Habisnya Tanah Produktif

Mataram (NTBSatu) – Wamen Menteri (Wamen) Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia, Fahri Hamzah mengadakan rapat bersama Gubernur NTB dan Bupati-Wabup (diwakili pejabat) se-NTB.

Dalam pertemuan di Lantai 3 Gedung Bank NTB Syariah itu, Fahri Hamzah membahas bagaimana masyarakat memiliki aset dari tanah dan rumah hingga ancaman kehilangan tanah produktif.

“Yang penting, bantu masyarakat mendapatkan sertifikasi terhadap tanah sebagai sumber aset yang utama. Maka rumah yang (sudah) direnovasi, (memiliki) nilainya di bank. Sebagai aset, nilainya akan naik,” ucapnya, Minggu, 8 Juni 2025.

Dengan demikian, masyarakat yang memiliki aset akan lebih mudah melakukan pinjaman produktif di bank untuk berusaha. Walaupun kini sudah ada bantuan berupa kredit usaha rakyat (KUR).

IKLAN

Fahri mengambil teori Amerika Latin. Di mana salah satu cara menghilangkan kemiskinan adalah dengan memberikan rakyat jaminan aset. Hal ini senada dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapuskan kemiskinan esktrem di tahun pertamanya menjabat.

“Bagaimana kemiskinan ekstrem ini kita hapuskan di tahun pertama. Tahun depan, tidak ada lagi kemiskinan ekstrem. Salah satu caranya adalah di aset, perbaiki rumahnya, habis itu berikan pinjaman produktif,” jelas Wakil Ketua Partai Gelora iu.

Ia menyebut, salah satu langkah untuk membangun satu kawasan itu memakan anggaran Rp20 hingga Rp22 miliar. Hal itu jika mengambil standar RT. Perkiraanya, di Indonesia terdapat 1,2 juta RT.

“Satu RT kira-kira 30 rumah. Paling besar 60 rumah,” jelasnya.

IKLAN

Sementara untuk pesisir, sambung Fahri, pihaknya akan bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata. Tujuannya, selain memperbaiki rumah dan kawasan pesisir, juga pusat produksinya. Termasuk pusat kuliner, karena pesisir identik dengan menjual makanan hasil tangkap nelayan di laut.

Ancaman habis tanah produktif

Terakhir, dan ini yan tidak kalah penting. Fahri menyebut adanya peluang bahwa Indonesia akan kehabisan tanah produktif. Hal itu terjadi apabila pemerintah tidak segera berfikir untuk mengajak (mendorong) masyarakat kita hidup secara vertikal. Khususnya di perkotaan.

Jika pemerintah mau terlibat membantu perumahan dan membantu konservasi lahan, apalagi presiden bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai swasembada pangan bahkan menjadi lumbung pangan dunia, maka pembangunan di atas sawah harus berkurang.

Salah satu caranya dengan cara meminta pembangunan dilakukan secara orientetal. Terutama untuk merenovasi perkotaan.

Fahri menyebut, perkotaan saat ini menghadapi masalah. Harga tanah semakin tinggi, masyarakat biasa tidak bisa tinggal di kota, mulai tersingkir keluar. Merekak menggunakan warisannya sebagai tempat tinggal.

IKLAN

“Dan umumnya, warisan dalam bentuk sawah, maka yang dibikin rumah adalah sawah,” ucap pria kelahiran Sumbawa ini.

Padahal seharushya, lanjut Fahri, tanah di kota harus terjangkau oleh seluruh kalangan. Caranya, pemerintah mengambil alih tanah kumuh yang tidak bersurat atau bersertifikat. Kemudian menggunakan dan memanfaatkannya demi kepentingan bersama.

Fahri mencontohkan bagaimana cara tersebut Ia lakukan di Bandung. Di sana terdapat tanah seluas 5 hektare. Setelah dihitung, sekitar 1,5 hektare digunakan untuk membangun bangunan. Sisa lahan lahan 3,5 hektare dijual Rp1 triliun.

“Luasnya lebih baik, sanitasi teratur, semuanya bersih, ini masa depan untuk di perkotaan,” jelasnya.

Ia menegasakan bahwa negara harus mengontrol lahan. “Saya sudah menghitung. Tanah terlalu mahal. Itu yang membuat rakyat tidak terjangkau, karena tanah terlalu mahal. Jika kita ambil alih, harga tanahnya bisa jadi setengah. Jadi lebih murah,” bebernya. (*)

Berita Terkait

Back to top button