Opini

Pemilihan Serentak Perdana, Janganlah Menggurita Cara Culas Merebut Hati Rakyat

Oleh: Ria Sukandi – Kordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat Dan Hubungan Masyarakat (HP2H) Bawaslu KLU

Pemilihan Umum (Pemilu) dinyatakan selesai tinggal menunggu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR, DPR- Daerah Provinsi dan DPR Daerah Kabupaten dan Kota Se- Indonesia. Sesuai regulasi pelantikan dan pengambilan sumpah setelah seluruh proses gugatan dan perselisihan hasil perolehan di Mahkamah Konstitusi (MK) rampung dan selesai. Artinya sah sudah hasil Demokrasi, pilihan ratusan juta penduduk Indonesia yang meletakkan jutaan harapan mereka pada pilihannya agar dapat hidup lebih baik.

Kendati pada Pemilu tahun 2024 kali ini, proses terbilang lebih singkat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, hal ini dapat dilihat estimasi batasan tahapan kampanye. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 di pasal 299 tahapan kampanye dimulai sejak tanggal 28 November (2023) hingga tanggal 10 Februari Januari (2024), berikutnya juga lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf f dan huruf g kampanye dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) Hari dan berakhir sampai dengan 1 (satu) Hari sebelum dimulainya Masa Tenang.

Kendati berjibaku dengan waktu kampanye relatif pendek demikian tidak membuat rakyat geming dan terpolarisasi oleh ragam pendapat dan isu yang terbangun dari masing-masing simpatisan, kelompok pendukung, buzzer antar pendukung yang berkontestasi. Mulai dari isu dugaan menggunakan praktik kekuasaan, menjadikan hukum sebagai instrumen, isu menebar pengaruh hingga tudingan pemberian sejumlah barang dalam bentuk sumbangan, hasil kebijakan dan anggaran negara yang pada dasarnya merupakan cara culas merebut hati rakyat.

Dalih praktik pemberian barang dengan ragam skenario mengemuka, beberapa kalangan menilai demikian itu semata-mata mempertahankan kekuasaan. Dalam metamorfosis kemajuan MK para pihak yang mengajukan permohonan keberatan pada akhirnya gigit jari dan tidak dapat dibuktikan. Dalam pada itu dinamika tersebut relevan dalam suatu sistem negara yang menganut azas demokrasi. Merunut UU Nomor UU No 42 tahun 2008 mengatur mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam Pasal 22E ayat (6), Pemilihan Umum terdiri 2 bentuk, yaitu Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Eksekutif”. Pasal 22E (7) ,” Pemilihan Umum Legislatif diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Diketahui bersama Undang-Undang ini lahir dari asas Rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sebelumnya. Sistem keterwakilan pada pemilihan Gubernur, Walikota dan wakil walikota, Bupati dan Wakil Bupati dilakukan melalui sistem keterwakilan di DPR, tersandera akibat cara culas praktik money politik yang melingkar jangkar dan diduga terjadi diarena gedung wakil rakyat. Amandemen dikumandangkan, semangat reformasi membahana dorongan praktik pemilihan langsung dapat dilaksanakan. Pada Pemilu Tahun 2024 cita-cita luhur itu rupanya terwujud dan dilaksanakan, belakangan kondisinya makin kesini makin sumir, belum berdampak signifikan justru perilaku sosial masyarakat menemukan inovasinya sendiri.

Kondisi baru muncul sikap pragmatisme, skeptis dan acuh menjadi momok menakutkan bagi keberlangsungan Pemilu, kekinian makin akut para aktor politik culas dibelakang kepentingan politik justru menarget rakyat, dari menebar janji, dugaan pemberian barang dan uang, pada kondisi tersebut dunia digital menjadi kiblat baik menebar bahkan mengakses informasi nyaris tidak terkendali. Pada pemilu 2024 Kementerian Kominfo menangkap 203 konten informasi hoaks.

Polarisasi itu sedemikian dahsyat mengakar, poltik elektoral tidak mampu membangun kepercayaan diri tanpa dibarengi asupan pemberian. Tujuan perubahan sistem pemilu membuat Political Socialization justru menjadi tanggung jawab semua elemen tidak luput didalamnya adalah penyelenggara. Apakah Partai politik berkewajiban terhadap hal tersebut? Jika melihat tujuannya selain sebagai sarana memperjuangkan kepentingan anggota Parpol juga adalah sarana pendidikan politik bagi masyarakat luas, membangun pemahaman warga negara tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Guna memastikan kwalitas demokrasi ke arah yang lebih baik, pemberian pendidikan politik adalah sebagai cara untuk mencapai aktualisasi diri dari individu dalam kedudukannya sebagai warga negara. Rakyat perlu di edukasi agar kesadaran tentang posisi kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat dapat dimengerti utuh. Moralitas sebagai sandaran Politisi agar rakyat mahfum memahami kedudukan tertingginya sebagai pemegang kedaulatan. Naiif rasanya jika istilah mengajarkan rakyat pintar dalam politik berbahaya bagi kekuasaan.

Tingkah polah saling mencela, menyerang dan menjatuhkan bahkan dengan cara keji hingga menghina tidak relevan dengan kebutuhan demokrasi, benturan pemikiran, debat kritis yang melahirkan ide dan gagasan rasanya lebih dirasakan kemanfaatannya. Bukan anjangsana saling hujat mengkerdilkan pemikiran orang lain, untuk memenuhi kebutuhan kwalitas Demokrasi tersebut penyelenggara menyajikan sarana bagi Peserta atau kandidat calon yang disebut debat antar calon, adu visi dan misi mengukur kuantitas dan kwalitas program yang merujuk pada kebutuhan Daerah, ikhwalnya adalah publik dapat menilai secara langsung dan menentukan pilihannya.

Belakangan ini dialektika menjadi minim dijumpai pada ruang- ruang aktivitas komunikasi verbal atau langsung, lebih pada ruang diskusi digitalisasi sepeti group- group diskusi digital. Bukan suatu yang aneh, hanya saja aktivitas komunikasi tersebut tidak merepresentasikan seseorang apakah cakap betul dalam beretorika atau argumentatif karena bentuknya adalah narasi.

Berita Terkini:

Narasi konstruktif demi kemaslahatan rakyat jarang dikemukakan, sibuk membangun citra diri dengan berbagai cara. Citra politik demikian itu mencerminkan teori politik Niccollo Machiavelli, yaitu bagaimana meraih kekuasaan dengan cara apapun. Kehadiran elite politik sebagai aktor di tampuk kekuasaan, sejatinya terus berperan mendorongnya dan mengedukasi rakyat, menciptakan ruang demokrasi yang berangkat dari kehendak pemegang mandat tertinggi tanpa dibarengi dengan iming- iming apalagi dengan janji- janji rela berbuat apa saja demi menang tanpa cela.

Perjalan panjang Pemilu di negri ini telah menghasilkan beragam kebijakan, bertujuan mewujudkan cita-cita dan harapan rakyat. Karena urgensinya yang substantif pesta demokrasi pemilihan serentak perdana ini janganlah tercederai, mengkotomi antar pihak karena hanya soal menang dan kalah, tapi lebih dari itu rakyat bendanya lebih di yakinkan bahwa sesungguhnya potikal will dalam konteks pemilihan lokal ini dijadikan sebagai lompatan awal ke arah demokrasi yang lebih baik.

Dalam konteks Pemilu dan Pemilihan segmen isu yang di cermati secara khusus oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) salah satunya selain pidana Pemilu ialah penggunaan politisasi Sara dan Poltik Identitas. Jika dicermati apa yang terjadi di Pilgub DKI 2017, Pileg dan Pilpres 2019 praktek ‘politik identitas yang mengarah pada Sara mewarnai’. Sama sekali bertentangan dengan akal sehat (Iman) kita. Instrumen politik seperti itu tidak diukur seberapa mampu mereka meraih suara terbanyak, lalu terpilihnya gubernur, legislator, presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang namun berbahaya bagi keberlangsungan keamanan sosial masyarakat.

1 2Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button