Mataram (NTBSatu) – Angka kasus perkawinan anak di Provinsi NTB masih tinggi. Bahkan, menjadi yang tertinggi dalam kurun dua tahun terakhir secara nasional, pada 2022 dan 2023.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka persentase perkawinan anak di NTB 2023 mencapai 17,32 persen. Angka persentase itu mengalami kenaikan dari tahun 2022, yakni 16,23 persen.
Sementara secara nasional, angka perkawinan anak terus-menerus mengalami penurunan. Angkanya sebesar 8,06 persen di tahun 2022, dan menjadi 6,92 persen pada tahun 2023.
Masih tingginya angka kasus perkawinan anak di NTB ini pun menjadi atensi khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), di tengah penurunan kasus secara nasional.
Terlebih lagi, upaya Pemprov NTB dalam menurunkan angka perkawinan anak melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dinilai belum efektif.
Hal ini terungkap dalam Kajian Audit Sosial Implementasi Perda 5/2021 Perkawinan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah NTB bersama Perludem, pekan lalu.
Kajian tersebut menemukan beberapa faktor yang menyebabkan Perda tersebut belum efektif, seperti kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah maupun organisasi non-pemerintah (NGO).
Berita Terkini:
- Banjir Bandang Terjang Pulau Sumbawa, Nestapa di Ujung Tahun 2024
- Penetapan NTB sebagai Tuan Rumah PON 2028 Masih Tunggu SK Kemenpora
- Kabid SMK Terjaring OTT Seret Nama Kadis Dikbud NTB
- Siswi SMAN 1 Mataram Bawa Tim Hockey Indonesia Juara Asia
- Banjir di Pulau Sumbawa, 4.850 KK Terdampak dan 316 Ekor Hewan Ternak Hanyut
Menteri PPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam kunjungan kerja (kunker) di Mataram, Kamis, 2 Mei 2024 menegaskan, bahwa masih tingginya kasus perkawinan anak di NTB menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya pihaknya di pusat, melainkan menjadi tanggung jawab Pemprov NTB dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB.
“Ini membutuhkan kehadiran kita semua, tidak bisa hanya kami di pusat. Sehingga, nanti kami akan komunikasikan lebih intens, solusi apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus perkawinan anak di NTB,” tegasnya.
Karena kalau sudah ada sinergi dan kolaborasi yang dibangun bersama antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah hingga desa. Serta, dengan media, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga anak itu sendiri, penurunan atau penghapusan perkawinan anak itu dapat terjadi.
“Dalam upaya menghapus perkawinan anak ini pemerintah juga tidak bisa bekerja sendiri. Perlu adanya sinergi dan kolaborasi bersama unsur-unsur pemangku kepentingan dari tingkat provinsi sampai tingkat desa, kolaborasi lintas sektor, peran serta lembaga masyarakat dan partisipasi tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun tokoh adat,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu yang turut hadir dalam kunker menyampaikan, akan terus memberikan pendampingan kepada Provinsi NTB yang masih mengalami kenaikan angka perkawinan anak.
Pihaknya juga telah merilis Panduan Praktis Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di Daerah, yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah di Provinsi NTB sebagai upaya menurunkan angka perkawinan anak.
“Harapannya Panduan Praktis Pelaksanaan Stranas PPA ini menjadi acuan bagi pemerintah daerah termasuk Provinsi NTB untuk melanjutkan upaya penurunan angka perkawinan anak,” harap Pribudiarta. (JEF)