Mataram (NTBSatu) – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian gugatan dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Dkk. tentang penyebaran berita bohong. MK menghapus Pasal 14 dan 15 UU 1 Tahun 1946. Putusan itu dibacakan MK dalam sidang putusan terhadap perkara nomor 78/PUU-XXI/2023.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang 4 Tahun 1976 dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang 4 Tahun 1976 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta menyatakan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan permohonan pemohon soal Pasal 27 ayat 3 UU ITE telah kehilangan objek karena sudah ada revisi UU ITE yang dilakukan oleh DPR.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat unsur berita atau pemberitahuan bohong dan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
Berita Terkini:
- Banjir dan Angin Kencang di Bima: Pohon Tumbang, Tanaman Jagung Terendam hingga Truk Hanyut
- Kapal Rute Poto Tano – Pelabuhan Kayangan Kandas, Seluruh Penumpang Selamat
- UMP NTB Naik Jadi Rp2,6 Juta, Pj Gubernur Beraharap tak Ada PHK
- Pj Gubernur NTB Panggil Kadis Dikbud, Sebut Kabid SMK Berpotensi Dicopot
Kemudian, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP disebut berpotensi menimbulkan multitafsir. Karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
Hal tersebut berpotensi terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana.
“Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 2026, maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan “dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam persidangan. (ADH)