Menurutnya, saat malam kericuhan di Lapangan Desa Parado Rato 14 Februari kemarin, Syamsudin berada di luar lapangan.
Karena penasaran ada kerumunan warga di TPS, Syamsudin sempat ingin masuk ke lapangan. Namun langsung dilarang oleh anggota keluarganya.
“Syamsudin benar-benar tidak ada di lokasi kejadian malam itu, apalagi sampai melakukan pembakaran TPS dan kotak suara,” kata Saodah.
Usai kejadian itu, kata Saodah, suaminya masih beraktivitas seperti biasanya. Bahkan, di malam harinya dia masih ke ladang untuk menjaga tanaman jagung miliknya.
Namun, setelah 11 hari berlalu, tepatnya pada Sabtu, 24 Februari 2024, Syamsudin rupanya tak pulang ke rumah untuk sarapan usai bermalam di ladang. Bahkan sempat diduga mati terbunuh.
Berita Terkini:
- Jaksa Lawan Putusan Hakim, Tak Terima Bos PT GNE dan PT BAL Divonis Ringan
- WN Italia Dilaporkan ke Imigrasi Diduga Tipu dan Umpat Masyarakat Lombok Utara
- LGBT Penyumbang Kasus HIV/AIDS Terbanyak di Lombok Timur, Pentingnya Kemauan Berobat
- Pasien BPJS Lombok Timur Keluhkan Kekosongan Obat di Puskesmas
“Saya coba hubungi nomornya tidak aktif. Saya cari ke ladang tidak ada, saat itu dalam pikiran saya dia sudah dibunuh karena tidak ada orang tahu keberadaannya,” jelasnya.
Sehari setelah hilang kontak dan dilakukan pencarian. Tepat pada Minggu, 25 Februari 2025, tiba-tiba datang panggilan dari sang suami melalui telepon seluler.
Saat itu Syamsudin mengabarkan bahwa dirinya sudah ditangkap polisi dan ditahan di Mapolres Bima.
Saodah mengaku terkejut mendengar kabar penangkapan suaminya itu, sebab diketahuinya sang suami tidak pernah terlibat dalam pembakaran TPS dan kotak suara.
“Penangkapan dan penetapan tersangka sampai penahanan itu tidak pernah ada pemberitahuan sama sekali ke pihak keluarga. Harusnya ada pemberitahuan, minimal melalui pemerintah desa,” keluhnya. (MYM)