“Apakah kita sudah memandang yang sama bila saat ini kita tengah menghadapi darurat kekerasan anak?” tanyanya.
Kekerasan di berbagai wilayah Indonesia disebut masih diwajarkan sebagai proses mendidik anak. Sehingga faktor budaya yang timbul di masyarakat juga menyumbang peran dalam kekerasan anak.
Sebagai contoh, Chatarina menjelaskan budaya masyarakat Timur yang juga masih menjadi tantangan pemerintah. Terutama dalam upaya untuk mengubah mindset yang telah diterapkan secara bertahun-tahun.
Tantangan selanjutnya, katanya, timbul dari guru-guru yang lahir karena produk pendidikan mengandung kekerasan. Untuk menyelesaikan hal ini Kemendikbudristek menghadirkan program Guru Penggerak.
Berita Terkini:
- Kunker ke Surabaya, Komisi III DPRD NTB Nilai Perubahan Perda Penyertaan Modal Mendesak
- Diskursus Vol VI Overact Theatre, Menguak Sejarah Teater Kamar Indonesia
- Perjalanan Kepemilikan ANTV yang Kini Lakukan PHK Massal
- Sebelum Gubernur Terpilih Dilantik, Hassanudin akan Dievaluasi Kemendagri 9 Januari 2025
“Kita tidak bisa mewariskan pendidikan yang mengandung kekerasan untuk siswa di zaman ini. Guru harus berubah, untuk itu melalui program Guru Penggerak, mindset guru harus diubah dan ini membutuhkan waktu yang sangat banyak,” jelasnya.
Waktu menjadi faktor penting yang ikut diperhatikan Kemendikbudristek dalam menyudahi status Indonesia darurat kekerasan anak. Karena menurut Chatarina bila pemerintah kehilangan momentum yang telah dibangun hingga saat ini, proses untuk memulai kembali akan menjadi suatu hal yang sulit.
Selain itu, Chatarina juga sempat menyinggung mengenai penanggung jawab kekerasan di sekolah. Ia mengatakan, bila secara manajemen, kepala sekolah adalah pimpinan tertinggi yang harus memastikan lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk proses belajar mengajar.
“Tetapi tanggung jawab untuk melakukan proses pembelajaran yang aman dan menyenangkan menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah,” pungkasnya. (JEF)