Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus tersebut, Taufan menyebut polisi terlalu kaku. Di mana polisi menjalankan hukum acara seperti di dalam KUHAP, Perpol dan Perkap.
Namun, lanjut Taufan, sering kali Perpol dan Perkap justru bertentangan dengan KUHAP. Jadi perlu ada reformasi substantif terhadap sistem hukum kepolisian.
“Saya ingin polisi di bawah kementerian, bisa dipertimbangkan di bawah Kemendagri atau seperti Belanda secara kelembagaan,” katanya.
Hal itu supaya polisi tidak lebih mengutamakan perintah atasan ketimbang kepentingan masyarakat dan keadilan.
Sementara menurut advokat Pusat Bantuan Hukum Lembaga Pengembangan Wilayah (PBH LPW) NTB, Adhar, dalam kasus serupa yang minim bukti langsung, strategi pengacara biasanya membantah saksi dan mengobservasi ahli yang menguntungkan.
Berita Terkini:
- Polisi Koordinasi dengan LPSK untuk Hitung Restitusi Korban Agus Disabilitas
- Perusahaan Sepatu Nike PHK Massal Ribuan Karyawan di Indonesia
- Rumah Warga di Lombok Timur Terancam Jatuh Akibat Longsor
- Ibu Muda di Dompu Rela Tinggalkan Tiga Anak Demi Selingkuhan
“Masih kurang bukti bahwa Jessica bersalah dan hakim tergiring dengan pendapat ahli dan tergiring dalam pandangan jaksa,” ujar Adhar.
Kemudian di luar kepentingan film tersebut, Ketua PBH Mangandar, yakni Yan Mangandar mendorong agar dilakukan reformasi di tubuh Polri dan masyarakat sendiri.
“Misalnya polisi berbondong-bondong press release kasus judi online, migas dan lain-lain. Yapi seandainya teman-teman mengetahui lebih dalam, itu sebenarnya bobrok di dalam,” ungkapnya.
Misalnya, lanjut Yan Mangandar, dalam proses penangkapan, harusnya ditemani oleh advokat, tetapi kenyataannya advokat tidak diperbolehkan bertemu klien.
“Lalu apakah bisa menjamin bahwa hal tersebut dapat memberikan keadilan? menurut saya itu bahkan melanggar HAM,” ucapnya. (MKR)