Opini

Merawat Republik Melalui Demokrasi Inklusif

Kerap kali dari hasil Pemilu, partai-partai politik (parpol) sering menyoroti adanya kecurangan dalam proses Pemilu. Tapi tiba saatnya kecurangan itu dilegalkan, banyak parpol yang tidak menuntut atas kecurangan yang dilakukan. Sebab kecurangan itu dilakukan, baik oleh eksekutif partainya, calon legislatifnya, maupun kadernya. Bahkan lebih konyolnya lagi, penyelenggara pun kerap kali terlibat dari penyimpangan hukum Pemilu yang berintegritas—lebih pada pengamanan posisi.

Pada akhirnya, hasil Pemilu bukan lagi untuk menentukan pemimpin yang demokratis, melainkan kerja sama untuk bentuk kekuatan petahana, imbalannya bagi-bagi jabatan. Oleh karenanya, untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas, maka aturan dan hukum proses demokrasi haruslah ditaati agar pemilu dapat berjalan dengan jujur, adil, dan terbuka.

Praktik Pemilu di Indonesia, sejauh ini memiliki beberapa tipe dalam prosesnya. Siti Hastiti P, berdasarkan jurnal Hukum No. 25 Vol 11 tentang “pemilu dan demokrasi telaah terhadap prasyarat normatif pemilu”, ada dua macam tipe. Pertama, pemilu sebagai formalitas politik; kedua, pemilu sebagai alat demokrasi. Sebagai formalitas politik, pemilu hanya sebagai legalitas pemerintahan non-demokratis dan Pemilu yang dijalankan tidak demokratis, di mana adanya rekayasa untuk memenangkan partai tertentu yang merupakan partai penguasa.

Kemudian untuk pemilu sebagai alat demokrasi dijalankan di atas prinsip jujur, bersih, bebas kompetitif dan adil. Jika pemerintah yang berkuasa dijatuhkan melalui Pemilu yang demokratis, maka hal itu akan diterima sebagai konsekuensi demokrasi. Seyogianya di Indonesia hari-hari ini, membangun kekuatan penguasa lebih lazim, daripada menyusun perubahan 5 tahun mendatang. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwasannya di era digital ini cenderung terjadinya ujaran kebencian melalui akun-akun palsu media sosial (sering disebut Buzzer).

Pemilu pada mulanya dicita-citakan kan sebagai proses panjang dalam membentuk Indonesia adil makmur. Tapi dalam pelaksanaannya lebih cenderung pada formalitas politik, sehingga dalam tempuannya ‘money politic’ sebagai instrumennya. Pada akhirnya, demokrasi hanya memiliki nilai transaksional ketimbang substansinya, yakni membangun kesejahteraan melalui pemilu yang berdaulat. Maka dari sinilah, kita akan mengetahui bahwasannya mensponsori kesejahteraan masuk dalam agenda sekian, di mana kepentingan kelompok dan koalisi lebih diutamakan.

Baca Juga :

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button