Opini

Gerakan Mahasiswa Vs Otak Kucing

Oleh:
Widodo Dwi Putro
Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram

Ketika saya melempar bola pingpong, kucing mengejarnya. Ia hanya mengejar ke mana bola itu bergulir tanpa mempertanyakan dari mana asal bola itu.
Menurut riset para ilmuwan, lipatan dan struktur permukaan otak kucing mirip dengan otak manusia. Namun, otak kucing berukuran kurang dari 1 persen dari massa tubuhnya, membuatnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan tubuhnya, anjing bahkan manusia. Otak manusia membentuk sekitar 2 persen dari massa tubuh, dan anjing mendekati 1,2 persen. Mungkin karena itu otak kucing tidak mampu mempertanyakan hubungan sebab-akibat? (Finlay, B. L. & Darlington, R. B. Science 268, 1578–1584 (1995).

Sebab-Akibat

Lalu apa hubungannya otak kucing dan otak manusia dengan laporan terhadap sejumlah aktivis mahasiswa yang menjadi tersangka karena merobohkan gerbang pembatas gedung DPRD NTB?
Masih bingung? Baik, saya membuat contoh lain yakni tentang fenomena alam. Matahari bukan terbit karena ayam berkokok, sebaliknya ayam berkokok karena matahari terbit. Otak ayam yang lebih kecil dari kucing tentu tidak bisa membedakan mana sebab dan mana akibat. Otak manusia seharusnya bisa membedakan mana sebab dan mana akibat. Apalagi, jika ada manusia, norma dan nilai di dalamnya, hubungan sebab-akibat itu makin rumit. Itulah mengapa hubungan hukum melampaui hubungan sebab-akibat, yakni hubungan imputasi. (silakan, googling apa bedanya hubungan sebab-akibat dan hubungan imputasi).

Waktu itu, apa yang menyebabkan lautan manusia di berbagai daerah melakukan protes hingga mengakibatkan benturan antara demonstran dengan aparat hingga berujung pada pengrusakan gerbang?

DPRD sebagai rumah rakyat, maka kita melihat gerbang DPRD NTB itu tidak sekedar benda fisik yang sengaja dirancang untuk membatasi atau mencegah gerakan melintasi batas yang dibuatnya. Otak manusia lebih cerdas dari kucing, maka kita memaknai gerbang tersebut tidak hanya secara fisik, melainkan secara semiotik dengan mempertanyakan, sebagai berikut:

Apakah aksi mahasiswa yang merobohkan “gerbang pembatas” antara wakil rakyat dan rakyat itu mengganggu stabilitas daerah, sehingga Ketua DPRD NTB merasa perlu membawa dalam rapat Forkopimda?

Kita perlu melihat konteks sosial-politik pada waktu itu. Protes mahasiswa di gedung DPRD NTB itu, bukan satu-satunya aksi, melainkan merebak hampir seluruh daerah di Indonesia dalam rangka mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak pembahasan ulang revisi Undang-Undang (UU) Pilkada pada bulan Agustus lalu. Tidak ada yang aneh dengan demonstrasi itu, terlebih lagi memang pada saat itu, warga masyarakat, mahasiswa, dan pemuda di seluruh wilayah Indonesia secara kompak turun ke jalan melalui sebaran undangan yang berseliweran di media sosial dengan tajuk “Peringatan Darurat” dan seruan mengembalikan marwah demokrasi.

Gelombang protes itu akhirnya membatalkan Rapat Paripurna mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang lantaran tak memenuhi quorum. Hanya 89 anggota yang hadir ke Rapat Paripurna yang mengagendakan pengesahan RUU Pilkada itu.

Di tengah keseriusan warga Indonesia yang tengah memperjuangkan nasib demokrasi di tangan pemerintahan dinasti, ironisnya, pihak DPRD NTB justru mempersoalkan hal remeh-temeh, yakni gerbang selatan DPRD yang rebah akibat dorongan massa hingga berujung penetapan tersangka pada keenam mahasiswa, yakni Hazrul Falah, Muhammad Alfarid, Mavi Adiek Garlosa, Deny Ikhwal Al Ikhsan, Kharisman Samsul, dan Rifki Rahman, di mana lima di antaranya merupakan mahasiswa Universitas Mataram (Unram) dan satu mahasiswa Institut Studi Islam Sunan Doe, Lombok Timur. Penetapan tersangka itu dilakukan setelah dilayangkannya laporan dari pihak Sekwan DPRD NTB terhadap keenam mahasiswa tersebut.

Mengapa?

Tanpa pikir panjang, pihak kepolisian bergegas menjerat para mahasiswa itu dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut ini:
“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Untuk kasus ini, Polisi tidak cukup hanya menggunakan “kacamata kuda”, mencocokan (cocoklogi) premis mayor dan premis minor, seharusnya dengan horison yang lebih luas melihat konteks ruang dan waktu terjadinya perbuatan dan peristiwa hukum itu. Itulah mengapa polisi mempunyai Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Keadilan Restoratif, sehingga kapan polisi harus bertindak sebagai “a strong hand of society” dan kapan harus bertindak dengan karakter “a soft hand of society”.  Jika dipaksakan, kasus ini dengan mengatasnamakan hukum maka bukan kebenaran yang menciptakan hukum, melainkan otoritas atau kekuasaanlah yang membuatnya (auctoritas, non veritas, facit legem).

Jika delik pidana biasa, sebagai perbandingan, mengapa gerbang DPR Senayan yang rusaknya lebih parah tidak ada yang menjadi tersangka? Sebagaimana kita ketahui dari media, massa aksi yang menolak RUU Pilkada merobohkan gerbang pintu belakang Kompleks Parlemen MPR/DPR, Senayan Jakarta, Kamis (22/8/2024). Dalam orasinya mereka meminta agar DPR membatalkan pengesahan RUU Pilkada. Massa aksi juga mencopot jeruji gerbang depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada Kamis (22/8) siang. Salah satu bagian gerbang DPR pun jebol.

Pertanyaannya, pertama, mengapa “hulu” (penyebab huru-hara) tidak tersentuh oleh hukum, yakni aktor yang membuat skenario jahat memaksakan politik dinasti dengan menghalalkan segala cara berupaya menetapkan RUU Pilkada, sehingga menyebabkan aksi protes di mana-mana hingga benturan demonstran dengan aparat keamanan yang berujung pengrusakan itu tidak menjadi tersangka? Mengapa hanya menyentuh hilir (akibat) yakni sejumlah mahasiswa di Lombok yang menjadi tersangka?

Kedua, menyoal legal standing di balik tindakan Sekretaris Dewan (Sekwan) melaporkan para mahasiswa yang terlibat unjuk rasa hingga merebahkan gerbang selatan DPRD NTB dengan alasan demi stabilitas daerah jelas tergolong ultra vires (di luar kewenangan). Sekretaris DPRD hanyalah unsur pemerintah yang diperbantukan, di mana tupoksinya sebagai “pelayan” anggota dewan. Tanggungjawab Sekwan berkisar melayani administrasi kesekretariatan dan keuangan dewan, seperti mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, serta menyediakan dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan hak dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan. Apakah gerbang itu dibeli dari kantong pribadinya?

Lagipula, mempersoalkan robohnya gerbang selatan DPRD NTB dengan gaya kekanakan yang cepu atau ringan tangan menggunakan hukum dan kekuasaan seperti tindakan “kacang lupa kulitnya”. Menyitir ungkapan Rocky Gerung bahwa wakil rakyat sebelum duduk di kursi wakil rakyat, mereka tidak ubahnya pengemis suara rakyat. Setelah menjadi wakil rakyat, (seharusnya) mereka adalah pelayan rakyat. Logikanya, jika semua anggota dewan itu adalah pelayan rakyat. Sementara, sekretaris dewan adalah pelayannya anggota dewan. Berarti, secara politik, ia adalah pelayannya pelayan.

Ketiga, menyoal status Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unram yang melekat, rasanya, tidak patut jika ketua anggota keluarga berhasrat menghukum keluarganya sendiri sebagai bentuk teguran sekalipun. Dalam nuansa kekeluargaan, seharusnya terdapat kepercayaan dan kasih sayang, sehingga kalau ada yang kedapatan berbuat salah, maka ditegur dengan didikan, bukan dengan ancaman hukuman pidana. Terlebih, 5 dari 6 mahasiswa yang ditetapkan menjadi tersangka itu berjubahkan almamater Universitas Mataram.

Jika ditelisik istilah bahasa Latin-nya, “alma mater” bukanlah sekadar jubah yang menjadi simbol universitas mana kita bernaung dan menimba ilmu, melainkan juga merujuk pada “ibu” (mater) yang memberi asupan makan bergizi (almus) atau secara simbolik selayaknya seorang ibu yang merawat anak-anaknya dengan asupan pengetahuan. Artinya, mereka “menyusui” dari “ibu” yang sama, sehingga mestinya ada ikatan persaudaraan di antara mereka.

Seakan belum puas amarah akan rebahnya gerbang selatan, Ketua DPRD yang juga Ketua IKA itu, menyebarkan kabar aib tentang dugaan kekerasan seksual yang dilakukan di antara keenam mahasiswa tersebut. Ironisnya, kabar burung itu justru didengungkan oleh Ketua DPRD NTB sekaligus Ketua IKA Unram.

Menampik rumor tersebut, pada 12 November 2024, Presiden BEM Unram, Herianto, menandaskan bahwa tuduhan itu tidak benar adanya alias hoaks. Dari keenam belas mahasiswa yang diperiksa, termasuk 6 mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pengrusakan gerbang bagian selatan gedung DPRD NTB, tidak ada satu pun dari mereka yang nyata terlibat dalam kekerasan seksual sebagaimana dituduhkan.

Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pertanyaan terkait pelecehan maupun pemanggilan dan pemeriksaan di Subdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB terkait pelecehan seksual. Perwakilan Tim Pembela di Subdit Renakta Ditreskrimum Polda NTB turut membenarkan hal tersebut. Selain itu, tidak pernah ada pengaduan dari Satgas PPKS Unram terkait pelecehan seksual oleh 16 mahasiswa tersebut, sehingga pernyataan Ketua DPRD NTB tersebut jelas tak berdasar.

Paham Prioritas

Obliti privatorum, publica curate! (lupakan masalah pribadi, pikirkan kepentingan publik!). Banyak permasalahan di Provinsi NTB yang seharusnya menjadi prioritas perhatian DPRD NTB. Diantaranya, NTB yang masih berada di posisi provinsi miskin di Indonesia. Angka korupsi juga tinggi. Korupsi ini juga beririsan dengan eksploitasi ektraktif. Maraknya pertambangan illegal, berdampak pada pengrusakan lingkungan yang begitu parah di Lombok Timur dan Lombok Barat. Kerusakan lingkungan ini menyebabkan krisis air bersih, terkontaminasi oleh zat kimia. Penebangan hutan menyebabkan kekeringan di musim kemarau dan sebaliknya terjadi banjir besar di musim hujan.

Konflik agraria berupa penggusuran dan perampasan tanah rakyat di Lombok maupun Sumbawa cukup masif. Akar rumput butuh wakil rakyat yang progresif melindungi dan membela hak rakyat dari penetrasi, akumulasi dan ekspansi modal yang lapar lahan. NTB juga memiliki tingkat buta aksara tertinggi di Indonesia setelah Papua, yaitu 18,81% (data, 2022). Kesejahteraan guru honorer di NTB juga masih buruk.

Tindakan represif, berpengaruh pada indeks demokrasi. Indeks demokrasi NTB terendah dibanding provinsi lain. Jika kritik dan protes diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan, maka indeks demokrasi NTB yang sudah buruk itu makin terpuruk.

Matahari Terbit

Ayam berkokok karena matahari terbit, maka mahasiswa adalah matahari terbit, ketika orang-orang masih tertidur terlelap. Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral selalu muncul pada setiap zamannya. Keadaan yang mematangkan kesadaran perlawanan. Mahasiswa turun ke jalan saat menyaksikan terjadinya ketidakadilan yang luar biasa dan perlakuan sewenang-wenang penguasa
Jika mereka itu masih belum paham hubungan sebab-akibat, maka saya tidak akan lagi membandingkan otak manusia dengan otak kucing. Saya tidak putus asa, mungkin puisi Wiji Thukul ini dapat memperjelas hubungan sebab-akibat dalam kasus pengrusakan gerbang DPRD itu.

Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button