Mataram (NTBSatu) – Pelaku industri perhotelan di NTB mengaku khawatir, atas kondisi pasar akomodasi di Kota Mataram yang dinilai mulai jenuh.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa menyoroti terus bertambahnya jumlah hotel yang menyebabkan kelebihan pasokan (over supply) kamar. Hal ini pun memicu persaingan harga yang tidak sehat dan mengganggu keberlanjutan usaha hotel yang ada.
“Di Kota Mataram, suplai kamar sudah berlebih. Kita khawatir, jika tren pembangunan hotel terus dilanjutkan tanpa disertai peningkatan permintaan yang sepadan,” kata Adiyasa, Rabu, 21 Mei 2025.
Data Asosiasi Hotel Mataram mencatat, saat ini terdapat 38 hotel anggota dengan kapasitas sekitar 2.800 kamar. Jika dengan hotel non anggota seperti hotel melati, jumlahnya mencapai sekitar 4.300 kamar.
Bahkan, berdasarkan data di platform pemesanan daring (marketplace), jumlah kamar yang tersedia di Kota Mataram tercatat mendekati 7.000 unit.
“Kondisi over supply ini tercermin dari rendahnya tingkat okupansi hotel. Idealnya, penambahan pasokan kamar baru hanya layak jika rata-rata okupansi sudah menyentuh angka 65 persen ke atas,” jelasnya.
Berkaca pada data BPS, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di Kota Mataram menunjukkan fluktuasi sepanjang tahun 2024.
TPK hotel di Kota Mataram berkisar antara 47 persen hingga 60 persen. Hanya beberapa hotel yang mampu mencapai okupansi hingga 70 persen. Terutama yang menjadi lokasi kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition).
Perang Tarif Hotel
Selain kelebihan pasokan, Adiyasa mengungkapkan, kondisi perhotelan menghadapi kompetisi tarif yang semakin ketat. Banyak hotel terpaksa menurunkan harga secara signifikan demi mempertahankan tingkat okupansi.
“Bahkan di masa libur sekolah yang biasanya ramai, pasar justru cenderung lesu seperti di masa low season,” ujar Adiyasa.
Ia menambahkan, industri hotel merupakan sektor padat modal dan padat karya yang sangat sensitif terhadap fluktuasi permintaan.
Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya bisa meluas, termasuk potensi PHK, penurunan kualitas layanan, hingga kesulitan memenuhi kewajiban keuangan seperti cicilan investasi.
Sebagai solusi, Adiyasa mendorong agar arah investasi pariwisata NTB berfokus pada pengembangan destinasi buatan. Seperti, taman hiburan dan kebun binatang yang dapat menjadi daya tarik wisata baru.
Ia juga mengusulkan agar Provinsi NTB memiliki core event tahunan berskala nasional, seperti Pesta Kesenian Bali atau Pekan Raya Jakarta. Hal tersebut dapat menjadi penggerak utama pergerakan wisatawan dan mendukung bisnis perhotelan.
“Kami percaya bahwa NTB punya potensi besar. Tapi yang dibutuhkan sekarang adalah konten dan atraksi yang membuat orang tertarik datang dan menginap. Bukan semata menambah kapasitas kamar,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal berkomitmen mendorong pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan berkualitas.
Ia juga menyoroti potensi sektor MICE sebagai salah satu pilar penting dalam strategi pengembangan pariwisata NTB ke depan.
Pelaku industri pun, berharap komitmen tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan pembaruan kebijakan. Termasuk penyusunan ulang kalender event 2025, agar lebih responsif terhadap tantangan dan kebutuhan pelaku sektor pariwisata di lapangan. (*)