Mataram (NTBSatu) – Lembaga Perlindungan Anak Kota atau LPA Kota Mataram menerima aduan korban dugaan kasus lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mereka diduga mendapat tindakan tersebut dari ponpes wilayah Kota Mataram dan Lombok Barat.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi mengatakan, dua korban LGBT tersebut mengadu agar mendapatkan rehabilitasi setelah menjadi korban oleh rekan dan kakak tingkatnya.
“Jadi korban ini tidak melaporkan tindak pidananya. Hanya permintaan rehabilitasi,” katanya kepada NTBSatu, Senin, 15 Juli 2024.
Dua korban LGBT oleh kakak tingkat dan rekannya tersebut berada di dua ponpes di Kota Mataram dan Lombok Barat.
“Pelaku pertama ada yang tiga korbannya dan ada yang satu orang,” ungkap Joko.
Permintaan rehabilitasi itu setelah korban mengetahui bahwa LPA Kota Mataram menerima layanan rehabilitasi psikologi. Saat ini, sambung Joko, para korban masih mendapatkan rehabilitasi psikologi dari pihak LPA Mataram.
“Tahun ini dua kasus itu lesbian dua-duanya. Tahun lalu 2023 itu ada empat kasus, ada di Ponpes, Asrama belajar dan lembaga sekolah swasta,” beber akademisi Unram ini.
Minta Satgas Ponpes Atensi LGBT
Joko meminta Kementerian Agama (Kemenag) NTB mengatensi maraknya dugaan LGBT di lingkungan pondok pesantren. Karena kasus ini berbeda dengan pelecehan seksual, pemerkosaan hingga kasus kekerasan fisik.
Menurutnya, dalam pemberantasan kasus LGBT memerlukan upaya sistemik. Tidak bisa selesai hanya dalam internal pondok pesantren.
“Tidak cukup hanya mengeluarkan pelaku, yang harus dilakukan yaitu tracing (menemukan) korban dan pelaku,” tegasnya.
Bahkan, dengan menangkap pelaku pun tidak akan memutus mata rantai persoalan LGBT. Karena pelajar atau siswa yang menjadi korban LGBT harus mendapat pengobatan dan pendampingan rehabilitasi.
Salah satu contoh, sebut Joko, kasus gay di salah satu bimbel wilayah Lombok Barat beberapa waktu lalu. Korban berevolusi menjadi pelaku.
“Inilah yang kita takutkan,” jelas akademisi Universitas Mataram ini.
Terkait kasus LGBT, lembaga pendidikan termasuk ponpes relatif tidak berani melakukan tracing hingga merehabilitasi baik pelaku dan korban.
Karenanya, dia berharap adanya satugan tugas atau Satgas bisa mencari tahu siapa saja yang menjadi korban. Sehingga para korban segera mendapatkan bantuan rehabilitasi.
Sejak tahun 2023 hingga 2024, pihak LPA sudah menerima enam aduan kasus LGBT. Dari keenamnya, tiga di antaranya kasus gay. Sisanya terkena kasus lesbian.
Rinciannya, tahun 2023, laporan ada di pondok pesantren wilayah Lombok Barat sebanyak tiga kasus dan wilayah Mataram satu kasus.
“Uniknya satu kasus di Lombok Barat tahun 2023 lalu, pelaku melakukan aksinya di dua lokasi,” tutup Ketua Satgas PPKS Unram ini.
Tanggapan Kemenag NTB Terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kemenag NTB, Zamroni Azis yang dikonfirmasi terkait LGBT di lingkungan pondok pesantren, belum memberikan tanggapan.
Upaya permintaan keterangan melalui pesan WhatsApp hingga berita ini terbit belum mendapat balasan.
Sementara Humas Kemenag NTB, Lalu Muhammad Amin mengaku, dirinya belum bisa memberikan keterangan lebih. Menyusul belum menerima laporan dari Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam atau Pakis.
“Barangkali dapat langsung menghubungi teman-teman di Pakis untuk penjelasan lebih lanjut,” katanya mengarahkan.