Mataram (NTBSatu) – Oknum pimpinan yayasan salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Lombok Barat, inisial AF ditetapkan menjadi tersangka kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap santriwatinya, Kamis, 24 April 2025.
“Sudah kita tingkatkan ke penyidikan dan kami menetapkan tersangka terkait dengan persetubuhan,” jelas Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili.
Tersangka telah ditahan sejak Rabu malam di Mapolresta Mataram. “Tersangka sudah kami tahan per rabu, 23 April semalam, di Polresta Mataram,” ungkapnya.
Selama proses hukum berjalan, tersangka bersikap kooperatif dan telah mengakui perbuatannya.
Terdapat dua laporan kepolisian dalam kasus “Walid Lombok” ini, yaitu kasus persetubuhan dan pencabulan. Korban kasus persetubuhan dan pencabulan masing-masing lima orang.
“Persetubuhan lima orang korban, pencabulan sebenarnya ada empat orang. Kenapa saya bilang lima, karena satu orang menjadi korban keduanya yaitu pencabulan dan persetubuhan,” ucap Regi.
“Pagi ini, ada tiga korban datang lagi. Awalnya 10 orang, karena ada tiga lagi, totalnya menjadi 13 orang korban,” tambahnya.
Kepolisian mengimbau kepada masyarakat, khususnya orang tua santriwati yang anaknya menjadi korban segera melaporkan ke Polresta Mataram. Hal ini bertujuan untuk mencegah anak-anak lain menjadi korban pencabulan dan persetubuhan.
“Bagi para orang tua santriwati yang anaknya pernah jadi korban tersangka, silakan datang ke kami,” imbaunya.
Aksinya Terbongkar Setelah Film Bidaah Viral
Sebagai informasi, modus tersangka AF sama seperti yang Walid lakukan, tokoh dalam film Bidaah asal Malaysia. AF melancarkan aksi bejatnya dengan pendekatan keagamaan.
Terduga pelaku menjanjikan para korban akan mendapatkan keberkatan di dalam rahimnya.
“Supaya dapat melahirkan anak-anak yang akan menjadi seorang wali. Yang terindikasi korban 22 orang,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, Senin, 21 April 2025.
Jumlah santriwati yang menjadi korban AF sebanyak 22 orang. Delapan di antaranya sudah melapor ke Polresta Mataram. Saat kejadian para korban berusia di bawah umur.
“Kejadiannya sekitar tahun 2016 sampai terkahir di tahun 2023,” ujarnya.
Para santriwati itu, sambung Joko, ada yang sudah disetubuhi. Ada juga yang menjadi korban cabul, mereka menolak tawaran mendapatkan keberkatan dari pelaku.
“Sudah sempat diraba. Untuk (korban yang sudah) hamil, belum ada laporan,” beber dosen Universitas Mataram (Unram) ini.
Pelaku membawa satu per satu para korban ke sebuah ruang kelas di malam hari sekitar pukul 00.00 dan 01.00 Wita. Di dalam ruangan itu AF melakukan proses manipulasi psikologi atau menghasut para korban.
Lebih jauh Joko menjelaskan, sebelum melapor ke polisi, kasus ini telah sampai ke telinga pimpinan Ponpes. Begitu mendapat informasi, pimpinan tersebut langsung mengklarifikasi pelaku dan para korban.
“Yang bersangkutan mengakui perbuatannya kepada pimpinan ponpes. Tetapi di dalam keterangannya, dia lupa berapa banyak (korbannya),” bebernya. (*)