Selong (NTBSatu) – Salah satu bahasa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kehilangan penutur asli atau ‘punah’ pada 2023, menurut studi Ethnologue.
Bahasa daerah yang dimaksud adalah Bahasa Tambora. Sebuah bahasa yang dikenal sebagai bahasa negara perdagangan maritim.
Jumlah penutur asli bahasa tersebut diyakini mulai menyusut setelah Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus pada 1815.
Selain Bahasa Tambora, terdapat 23 bahasa daerah lainnya di Indonesia yang dinyatakan punah pada 2023. Lalu apa dampak buruk dari punahnya bahasa daerah?
Peneliti Masyarakat dan Budaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Obing Katubi, mengatakan ada dua jenis kerugian apabila suatu bahasa daerah punah, yaitu bagi penutur bahasanya dan ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Mantan Wali Kota Bima akan Jalani Sidang di Mataram
Bagi penutur bahasa, punahnya suatu bahasa sama dengan hilangnya sebuah identitas budaya. Menurutnya, suatu identitas budaya yang melekat kepada suatu kelompok masyarakat dibangun, salah satunya oleh bahasa.
Obing juga mengatakan, punahnya suatu bahasa sama dengan lenyapnya ungkapan artistik dalam suatu tradisi.
“Kalau bahasa daerah itu punah, berarti ungkapan artistik dalam tradisi mereka itu secara keseluruhan juga punah,” kata Obing dalam laporan terbuka Gatra.
Selain itu, punahnya suatu bahasa juga akan berimbas pada hilangnya pengetahuan budaya. Banyak budaya Nusantara yang tersimpan di dalam bahasa, seperti pengetahuan pengobatan, kuliner, hingga konstruksi pikiran sosial. Dengan punahnya suatu bahasa, pengetahuan-pengetahuan budaya ini pun terancam ikut tenggelam.
Kemudian jenis kerugian yang kedua adalah kerugian bagi ilmu pengetahuan. Punahnya bahasa merupakan ancaman terhadap pemahaman kolektif akan sejarah manusia, kognisi manusia, dan dunia hayati. (MKR)
Baca Juga: Jelang Pemilu 2024: Pemprov NTB Tegaskan Pidana Menanti ASN yang Langgar Netralitas