INTERNASIONAL

Pasang Surut Hubungan Iran dengan Israel, dari Sekutu Jadi Musuh Abadi

Jakarta (NTBSatu) – Konflik terbuka antara Iran dengan Israel terus memanas. Pada Jumat, 13 Juni 2025 lalu, Israel menyerang Teheran. Dugaannya, serangan Israel menarget situs-situs nuklir dan pangkalan militer Iran.

Hingga hari ini, kedua negara masih saling melancarkan serangan berbalaskan rudal di udara. Akibat peperang ini, korban di pihak Iran mencapai 224 orang. Sementara itu, Israel mencatat 24 kematian akibat serangan tersebut.

Dulu, sebelum perang terbuka seperti saat ini, hubungan Israel dan Iran sangat harmonis hingga menjalin kerja sama bilateral di berbagai bidang. Namun, ketegangan kedua negara ini berawal dari beberapa faktor. Simak penjelasannya sebagai berikut:

Pasang Surut Hubungan Iran-Israel

Setelah berdirinya negara Israel pada 1948, Iran menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatannya secara de facto.

IKLAN

Pada dekade 1950 hingga awal 1970, Israel dan Iran bersatu oleh kepentingan bersama, menghadapi tekanan dari negara-negara Arab. Hingga mencegah pengaruh Uni Soviet, dan menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat.

Di bawah Dinasti Pahlavi, yang berkuasa dari 1925 hingga digulingkan dalam revolusi tahun 1979, hubungan antara Iran dan Israel sama sekali tidak bermusuhan.

Bahkan, Iran menjadi negara berpenduduk mayoritas muslim kedua setelah Turki yang secara resmi mengakui kemerdekaan Israel setelah negara itu didirikan pada 1948.

IKLAN

“Iran, bersama India dan Yugoslavia, mengajukan rencana alternatif, solusi federatif yang bertujuan menjaga Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen tetapi dibagi menjadi kanton Arab dan Yahudi,” kata Sejarawan Universitas Oxford, Eirik Kvindesland kepada Al Jazeera beberapa waktu lalu.

“Itu adalah kompromi Iran untuk mencoba mempertahankan hubungan positif dengan Barat yang pro-Zionis dan gerakan Zionis itu sendiri, serta juga dengan negara-negara tetangga Arab dan Muslimnya,” tambahnya.

Revolusi Islam Iran

Pada tahun 1979, Shah digulingkan dalam sebuah revolusi, dan ditandai berdirinya Republik Islam Iran . Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi tersebut, membawa pandangan dunia baru yang sebagian besar mendukung Islam.

IKLAN

Ia juga memperjuangkan perlawanan terhadap kekuatan dunia yang arogan dan sekutu regional, yang ingin menindas pihak lain, seperti Palestina, demi kepentingan mereka sendiri.

Hal ini berarti bahwa Israel dikenal di Iran sebagai “Setan Kecil” bagi “Setan Besar” yakni Amerika Serikat (AS).

Teheran memutuskan semua hubungan dengan Israel. Warga negaranya tidak dapat lagi bepergian dan rute penerbangan batal. Kedutaan Israel di Teheran diubah menjadi kedutaan Palestina.

Khomeini juga mendeklarasikan setiap Jumat terakhir bulan suci Ramadan sebagai Hari Quds. Sejak saat itu unjuk rasa besar-besaran berlangsung untuk mendukung warga Palestina di seluruh Iran. Yerusalem dikenal sebagai al-Quds dalam bahasa Arab.

Hubungan Semu Iran-Israel

Meski secara publik Iran bersikap anti-Israel, realitas perang Iran-Irak (1980-1988) pernah membuat Teheran harus bersikap pragmatis. Dalia Dassa dkk dalam buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry (2012) menguraikan, dalam kondisi kekurangan senjata akibat embargo internasional, Iran diam-diam menjalin kembali kontak dengan Israel.

Israel, yang merasa Saddam Hussein lebih berbahaya, bersedia memberikan bantuan militer kepada Iran.

Kesepakatan tak resmi pun terjalin. Israel mengirimkan senjata dan komponen jet tempur ke Iran. Sebagai imbalan, Iran memfasilitasi eksodus warga Yahudi Iran ke Israel.

Kolaborasi ini mencapai puncaknya dalam skandal ”Iran-Contra” yang melibatkan AS, Israel, dan Iran. Dalam kesepakatan itu, Iran menerima senjata dari AS melalui Israel, dengan imbalan membantu pembebasan sandera Amerika di Lebanon.

Jadi Musuh Bebuyutan

Namun, hubungan semu ini berakhir setelah perang usai. Iran kembali ke narasi anti-Israel. Awal 2000-an menjadi era baru permusuhan. Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai Presiden Iran memperkuat posisi Iran sebagai ancaman bagi Israel.

Program nuklir Iran di era Ahmadinejad yang berkembang pesat memicu kekhawatiran Tel Aviv. Iran berhasil menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mendirikan pembangkit listrik tenaga nuklir pada 2011.

Sejak 2010, Israel melancarkan berbagai operasi rahasia untuk menghambat proyek nuklir Iran. Mulai dari pembunuhan ilmuwan, serangan siber, hingga sabotase fasilitas nuklir.

Israel berupaya mengisolasi melalui diplomasi, termasuk menjalin hubungan resmi dengan negara-negara Arab lewat Abraham Accords. Keberhasilan normalisasi dengan Uni Emirat Arab pada 2020 menjadi pencapaian penting bagi Tel Aviv.

Namun, gencarnya diplomasi ini kembali diuji saat perang Israel-Hamas pecah pada Oktober 2023. Serangan Israel ke Gaza memicu kecaman global dan membuat negara-negara Arab enggan melanjutkan proses normalisasi.

Sebaliknya, Iran memanfaatkan momen ini untuk menguatkan pengaruhnya yang siap menggempur dari berbagai arah.

Pada Januari 2024, AS menangkap kapal pengangkut senjata dari Iran ke Yaman, menunjukkan bahwa konflik proksi ini belum akan mereda dalam waktu dekat.

Hal ini terbukti dengan serangan Iran ke Israel pada Minggu, 14 April 2024. Dalam operasi bertajuk Operasi Janji Jujur itu, Iran meluncurkan ratusan pesawat nirawak dan misil balistik serta puluhan rudal jelajah ke Israel.

Apakah Normalisasi Bisa Terwujud?

Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, mengatakan kepada Al Jazeera, Khomeini menentang pembingkaian isu Palestina sebagai perjuangan nasionalis Arab.

Ia berupaya mengubahnya menjadi perjuangan Islam untuk memberi Iran bukan hanya kemampuan dalam memperjuangkan isu Palestina, tetapi juga memimpinnya.

“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif terhadap isu Palestina untuk menunjukkan kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat pada posisi defensif,” kata Trita Parsi.

Permusuhan tumbuh selama beberapa dekade karena kedua belah pihak berupaya untuk memperkuat dan mengembangkan kekuatan dan pengaruh mereka di seluruh wilayah.

Bagi pemerintah Iran, pemulihan hubungan adalah hal yang mustahil. Teheran menentang hegemoni AS di Timur Tengah, sementara Israel secara konsisten menolak segala upaya Washington untuk menarik pasukan Amerika dari wilayah tersebut.

Kelompok-kelompok yang terkait dengan Iran secara rutin menyerang pangkalan-pangkalan AS di Irak dan Suriah.

“Ini adalah persaingan untuk mendapatkan dominasi dan kekuasaan di kawasan, kedua negara telah terlibat dalam perang tingkat rendah selama lebih dari satu dekade,” kata Parsi. (*)

Alan Ananami

Jurnalis NTBSatu

Berita Terkait

Back to top button