Mataram (NTBSatu) – Berbagai masalah di Pemerintahan Provinsi NTB masih terjadi dan telah mewarnai sepanjang tahun 2023 ini. Dalam tiga bulan terkahir, terkait transisi kepemimpinan Gubernur NTB menjadi topik yang ramai didiskusikan.
Pun, sebelum bergantinya kepemimpinan, sepanjang tahun 2023 Pemerintah Provinsi NTB mengalami berbagai dinamika.
Sebagaimana diketahui, di tahun kelima kepemimpinan pasangan Dr. H. Zulkieflimansyah dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalillah, ada dua hal mencolok yang menjadi perhatian publik. Pertama terkait keuangan dan kedua tata kelola birokrasi.
Sekitar bulan Mei 2023 lalu, perbincangan tentang fiskal daerah NTB yang tidak baik-baik saja menjadi perhatian. Bagaimana tidak, sejumlah kontraktor mendatangi Pendopo Gubernur NTB, untuk menanyakan kepastian pembayaran proyek yang telah mereka kerjakan.
Adapun Pemprov NTB mempunyai kewajiban atau utang jangka pendek sebesar Rp639,4 miliar kepada pihak ketiga atau kontraktor. Sampai dengan akhir Mei 2023 lalu, Pemprov NTB sudah menuntaskan pembayaran utang jangka pendek sebesar Rp384,49 Miliar atau 60,13 persen. Sehingga sisa utang jangka pendek sebesar Rp254,9 miliar.
Dr. Zul pernah berjanji, bahwa utang Pemda kepada kontraktor akan lunas sebelum dirinya selesai mengemban amanah sebagai Gubernur NTB pada September 2023. Tapi nyatanya, hingga penghujung tahun 2023 ini, utang Pemprov NTB kepada kontraktor tersebut belum juga selesai. Terkahir pada Oktober 2023 lalu, utang masih tersisa Rp17 miliar.
Namun untuk menutupi utang tersebut, Dr. Zul sempat menyatakan bakal melakukan refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2023 yang bertujuan untuk membayar sisa utang tersebut.
Adapun dua item utama yang akan di-refocusing saat itu, yakni Pokok-pokok Pikiran (Pokir) 65 anggota DPRD NTB dan direktif gubernur-wakil gubernur NTB yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.
Dewan Pengawas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Hendriadi Jamal mengatakan, rencana Refocusing tersebut dinilai kurang efektif. Terutama, rencana tersebut dalam kondisi normal.
Menurutnya, Refocusing ini sebenarnya hanya digunakan pada kondisi tertentu saja, seperti pada saat kejadian luar biasa (Covid-19) yang terjadi beberapa tahun lalu. Dikatakannya juga, Refocusing ini harus ada regulasi atau peraturan yang jelas yang mengikatnya.
Bukan persoalan setuju atau tidak setuju terhadap rencana itu. Namun, Gubernur juga harus memperhatikan bagaimana menempatkan suatu kebijakan itu dengan tepat. Artinya, jangan sampai kemudian, namanya Refocusing, tapi semua kegiatan dipangkas, termasuk Pokir dan Direktif Gubernur.