IFBEC DPD NTB Soroti Mekanisme Pembayaran Royalti Musik
Mataram (NTBSatu) – Pemerintah menegaskan kembali kewajiban pembayaran royalti lagu atau musik kafe dan restoran. Penegasan tersebut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Nomor: HKI-92.KI.01.04 Tahun 2025. Surat edaran yang terbit akhir Desember 2025 itu mengatur pemanfaatan lagu di ruang publik komersial.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Hermansyah Siregar mengatakan, penggunaan lagu dan musik untuk mendukung kegiatan usaha di restoran, kafe, hotel, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, hingga moda transportasi termasuk pemanfaatan komersial, wajib membayar royalti.
Ia menegaskan, ketentuan tersebut memperkuat PP Nomor 56 Tahun 2021 dan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Isinya, menetapkan kafe dan restoran sebagai layanan publik komersial sehingga wajib memenuhi hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait.
Termasuk, langganan layanan streaming pribadi, seperti Spotify atau YouTube Premium, tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.
Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Indonesian Food and Beverage Executive Association (IFBEC) DPD NTB, Sudirman, S.Tr.Par., M.Tr.Par., mengatakan, pelaku usaha memahami dan menghormati hak cipta musik. Serta, tidak menolak kewajiban pembayaran royalti.
Ia menilai, persoalan utama bukan pada penolakan aturan. Melainkan pada potensi pembayaran ganda dan belum jelasnya mekanisme penarikan royalti.
“Sebagian besar pelaku usaha sudah membayar musik melalui aplikasi streaming berlangganan yang digunakan sehari-hari. Dari sudut pandang pengusaha, kewajiban itu sudah dijalankan dengan membayar biaya bulanan secara rutin,” terangnya kepada NTBSatu, Rabu, 31 Desember 2025.
IFBEC NTB mencatat, di lapangan surat edaran tersebut tidak pelaku usaha abaikan. Namun, mereka belum mengimplementasikan sepenuhnya karena minimnya pemahaman teknis.
Sejumlah pelaku usaha bahkan mulai membatasi pemutaran musik. Bahkan, beralih ke musik instrumental atau gratis royalty hingga menghentikan pemutaran musik sementara waktu.
“Ini bukan bentuk perlawanan, tetapi kehati-hatian. Pelaku usaha ingin patuh, namun membutuhkan kejelasan mekanisme, sosialisasi yang lebih intens, dan sistem yang tidak memberatkan. Terutama bagi UMKM di NTB,” tambahnya. (LMA/*)



