Hotel di Mataram, Kuta, dan Gili Dikejutkan Tagihan Royalti Musik, LMKN Ancam Somasi

Mataram (NTBSatu) – Para pengusaha hotel di Kota Mataram, Kuta, dan Gili, Provinsi NTB, dibuat geger oleh surat tagihan royalti musik yang dikirim Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tak hanya mendadak, tagihan ini disertai ancaman somasi bagi yang menolak membayar.
Tagihan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Menurut Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, setidaknya ada tiga hotel anggota AHM di Mataram yang menerima surat tagihan. Kemudian, informasi adanya hotel di kawasan Kuta dan Gili yang juga mengalami hal serupa.
“Memang sudah ada beberapa hotel yang disurati, termasuk di Mataram, Kuta, dan Gili. Pihak hotel bahkan sering ditelpon dan ditagih. Rasanya seperti punya utang besar. Ada yang sudah disomasi karena menolak membayar,” ungkap Adiyasa, Rabu, 13 Agustus 2025.
Menurutnya, LMKN beralasan semua usaha yang menyediakan sarana hiburan. Termasuk hotel, wajib membayar royalti. Meski pihak hotel mengklaim tidak memutar musik secara langsung seperti di kafe atau restoran.
“Jawaban mereka, di kamar hotel ada TV, dan TV itu bisa untuk mendengarkan musik. Jadi, tetap kena royalti. Dasar perhitungannya berdasarkan jumlah kamar, sedangkan restoran atau kafe berdasarkan jumlah kursi,” jelasnya.
Adiyasa menilai cara penagihan LMKN terkesan intimidatif. “Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang. Ditanya terus, kapan bayarnya. Untuk sementara ini, saya minta hotel yang dikirimi tagihan agar meminta ruang diskusi dengan LMKN,” tegasnya.
PHRI NTB Kritik Mekanisme Royalti
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini, juga mengkritik mekanisme penarikan royalti tersebut.
Ia menilai, kebijakan ini belum memiliki petunjuk pelaksanaan yang jelas di daerah dan menambah beban berat bagi pelaku usaha yang sudah menanggung pajak daerah maupun pusat.
“Harapan kami, ada revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Karena pajak daerah saja sudah tinggi, pajak pusat juga. Sekarang ditambah royalti lagu. Belum lagi pajak-pajak lainnya,” tandas Wolini.
Kasus ini mencuat setelah sebelumnya sengketa royalti musik menimpa gerai Mie Gacoan di Bali, yang dilaporkan LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) karena diduga tidak membayar lisensi menyeluruh (blanket license).
Isu tersebut kini merembet ke berbagai daerah, membuat banyak pelaku usaha takut memutar musik di tempat mereka. (*)