OpiniWARGA

Memaknai Perayaan Hari-hari Spesial untuk Orang-orang Terbaik di Hidup Kita

Oleh: Hamzani Wathoni

Banyak orang menyebut Jepang sebagai “Planet Jepang”, maju, bersih, aman, dan tertib. Namun di balik citra itu, ada fenomena Kodokushi lansia yang meninggal sendirian di rumah dan baru ditemukan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kemudian. Data NPA 2024 mencatat puluhan ribu kasus, mayoritas berusia 65 tahun ke atas. Salah satu kisah paling memilukan: sepasang lansia di Osaka meninggal tanpa diketahui siapa pun; sang suami yang lumpuh wafat perlahan setelah istrinya lebih dulu meninggal, sementara anak mereka telah lama pergi dan tak pernah menengok.

Cerita itu seperti tamparan pelan bukan hanya untuk Jepang, tetapi untuk siapa pun yang hidup di zaman serba cepat, serba praktis, dan serba cukup lewat layar. Sebab kemajuan, kebersihan, dan keteraturan tidak otomatis melahirkan kehangatan. Ketertiban kota tidak selalu berarti keterhubungan hati. Dan ketika ikatan keluarga mulai longgar, pelan-pelan, tanpa terasa, kesepian bisa menjadi takdir sunyi bagi orang-orang yang dulu merawat kita.

Di momen hari Ibu, hari Ayah, dan hari-hari yang tercipta untuk menghormati peran keluarga dalam diri kita kita, tragedi semacam itu seharusnya mengingatkan kita bahwa keluarga bukan sekadar status, melainkan praktik harian: menengok, mendengar, memeluk, bertanya kabar, dan hadir baik ketika orang tua kuat, apalagi saat mereka rapuh. Namun ironi zaman ini, kita punya banyak cara untuk “terhubung”, tetapi sering kehilangan kebiasaan untuk benar-benar “bersama”. Kemudian sebagai pertanyaan, benih keterputusan itu mulai tumbuh dari mana?

IKLAN

Salah satunya mungkin dari ruang paling kecil dan paling menentukan”rumah”, di tahun-tahun awal ketika anak belajar tentang emosi, kasih sayang, dan makna “dipahami”. Dulu, saat anak menangis atau tantrum, banyak ibu dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya akan merangkul, mengusap kepala, mengajak bicara, menenangkan napas si kecil dengan napasnya sendiri. Tangis dipandang sebagai pesan yang perlu diterjemahkan: lapar, lelah, takut, butuh perhatian, atau sekadar ingin merasa aman.

Sekarang, kita sering menyaksikan pemandangan yang berbeda. Saat anak mulai rewel, solusi tercepat adalah layar: “Nih, HP dulu ya.” Lalu datang tontonan atau game kesukaan sang anak. Tangis mereda, rumah jadi “tenang”, ibu bisa melanjutkan pekerjaan, dan semua tampak selesai praktis, cepat, efektif, seolah-olah.

Padahal, yang sering terjadi bukan penyelesaian, melainkan pengalihan. Anak memang berhenti menangis, tetapi ia tidak belajar menamai emosinya. Ia tidak belajar mengelola kecewa. Ia tidak belajar menunggu. Ia tidak belajar bahwa ada manusia di depannya yang siap memeluk dan memahami. Yang ia pelajari adalah: setiap gelombang emosi bisa dibungkam dengan distraksi; setiap kegelisahan cukup diatasi dengan stimulus. Pelan-pelan, layar menggantikan pelukan, notifikasi menggantikan percakapan, algoritma menggantikan kehangatan.

Bukan berarti ibu hari ini tidak sayang. Banyak ibu justru sangat sayang bahkan mungkin terlalu sayang sampai ingin menghindarkan anak dari rasa tidak nyaman sedikit pun. Ditambah beban hidup yang makin berat: pekerjaan, tekanan ekonomi, tuntutan sosial, kelelahan mental, dan minimnya dukungan. Dalam kondisi seperti itu, gawai terasa seperti “asisten instan” yang menolong ibu bertahan. Kita perlu adil membaca realitas ini.

Namun tetap ada yang perlu kita renungkan bersama: bila pola ini menjadi kebiasaan utama, apa yang akan terjadi pada generasi yang tumbuh tanpa cukup pengalaman dipeluk saat rapuh, tanpa cukup pengalaman diajak bicara saat kacau, tanpa cukup latihan untuk menunda keinginan?

Di sinilah relevan ungkapan yang sangat dikenal: “al Umm madrasatul ula”  ibu adalah sekolah pertama. Sekolah pertama bukan sekadar tempat mengeja huruf dan angka, melainkan tempat pembentukan watak: bagaimana empati lahir, bagaimana adab tertanam, bagaimana sabar dipraktikkan, bagaimana kasih sayang menjadi bahasa sehari-hari. Ibu yang hadir dengan tatapan, sentuhan, dan percakapan, sedang menulis kurikulum kehidupan di hati anaknya.

Lalu muncul pertanyaan yang menohok: apakah peran ibu sebagai madrasah “al Umm madrasatul ula” sudah tergantikan dengan “Al YouTube madrasatul ula?”

YouTube (atau apa pun bentuknya) bisa memberi informasi, hiburan, bahkan inspirasi. Tetapi ia tidak bisa menggantikan fungsi paling penting dari seorang ibu: membangun keterikatan emosional dan menanamkan nilai. Layar tidak mengajari anak menatap mata orang lain dengan hormat. Layar tidak mencontohkan bagaimana meminta maaf dengan tulus. Layar tidak memeluk ketika anak merasa kecil di dunia yang terasa besar. Dan yang paling krusial: layar tidak memikul tanggung jawab moral atas karakter anak sementara ibu memikulnya, dan karena itu peran ibu punya kehormatan yang tak bisa ditukar.

Jika hari-hari penghormatan itu hanya menjadi seremoni memberi bunga atau unggahan manis, kita kehilangan intinya. Hari Ibu misalnya, seharusnya menjadi momentum evaluasi: sejauh mana kita masih memelihara hubungan, bukan sekadar memelihara rutinitas. Sebab tragedi seperti Kodokushi tidak lahir tiba-tiba; ia sering lahir dari “ketiadaan kecil” yang diulang: jarang menyapa, jarang pulang, jarang bertanya, jarang hadir hingga suatu hari ketidakhadiran itu menjadi normal, lalu normal itu menjadi nasib.

Maka refleksi hari-hari penghormatan itu semestinya berjalan dua arah.

Untuk kita sebagai anak, terutama yang sudah dewasa, berbakti tidak selalu butuh tindakan besar. Kadang sesederhana: menelpon tanpa menunggu momen khusus, mendengar cerita yang diulang-ulang tanpa mengeluh, menanyakan kesehatan dengan sungguh-sungguh, mengingat detail kecil kesukaan ibu, membantu urusan yang melelahkan, atau sekadar hadir dan membuat ibu merasa tidak sendirian menjalani hari. Jangan tunggu ibu lemah baru kita ingin kuat di sisinya. Jangan tunggu rumah sunyi baru kita sadar arti suara.

Dan untuk para ibu dan ayah hari ini, kasih sayang bukan hanya memberi yang anak suka, tetapi juga memberi yang anak butuh. Anak butuh batas, butuh dialog, butuh contoh, butuh pelukan yang menenangkan sekaligus mendidik. Ketika anak tantrum, mungkin bukan gawai yang paling ia butuhkan, melainkan ibu yang duduk sejajar, menatap lembut, lalu berkata pelan, “Kamu marah ya? Cerita sama ibu.” Kalimat sederhana seperti itu bisa menjadi jangkar emosi yang kelak menyelamatkannya dari kesepian karena ia terbiasa punya tempat pulang: bukan pada layar, melainkan pada manusia.

Pada akhirnya, Hari Ibu adalah ajakan untuk menguatkan dua mata rantai sekaligus: anak yang terus berbakti, dan ibu yang terus menanamkan cinta lewat kehadiran agar keluarga tidak menjadi sekadar nama, melainkan pelukan yang nyata, bahkan ketika usia menua dan tubuh melemah.

Jadi sebelum kita sibuk merayakan hari Ibu, hari Ayah, dan hari-hari spesial itu dengan kata-kata, mari jujur bertanya pada diri sendiri: apakah hari ini kita sudah benar-benar hadir untuk ibu dan bagi para ibu, ayah, guru, dan orang-orang spesial di hidup kita, apakah kita masih memilih pelukan dan percakapan sebagai bahasa utama cinta atau diam-diam kita sedang menyiapkan masa depan yang sunyi bagi orang-orang yang paling berjasa? Karena pada titik itulah kita akan memahami, mengapa Kahlil Gibran pernah merangkum seluruh cinta dan rindu dalam satu pengakuan sederhana: “kata-kata terindah adalah kata ibu dan panggilan terindah adalah ibuku.” (*)

(Hamzani Wathoni lahir di Lombok Timur, 30 Maret 1985. Lulusan Universitas Hamzanwadi pada tahun 2010. Tahun 2012 ia  melanjutkan studi magister di Universitas Flinders, Australia dengan Beasiswa Australia Awards. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Flinders dengan dukungan Beasiswa LPDP. Buku pertamanya berjudul A Dad’s Notes (Madani Berkah Abadi, 2025).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button