Hukrim

Jaksa Dalami Keterlibatan Mantan Ketua DPRD Lombok Barat Kasus Pokir 2024

Mataram (NTBSatu) – Dugaan korupsi dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD Lombok Barat tahun 2024 terus berproses di Kejari Mataram. Penyidik mendalami keterlibatan Mantan Ketua DPRD Lombok Barat, Nurhidayah.

Pendalaman keterlibatan Mantan Ketua DPRD Lombok Barat itu dengan melakukan serangkaian pemeriksaan. “Pokoknya semua yang berkaitan pasti diperiksa. Kami tidak bisa menyebut orang per orang. Yang berkaitan dengan penganggaran pasti kami mintai keterangannya,” terang Kasi Intelijen Kejari Mataram, Harun Al Rasyid kepada NTBSatu pada Selasa, 18 November 2025.

Menyinggung bagaimana peran Nurhidayah saat menjabat sebagai Ketua DPRD Lombok Barat dalam kasus tersebut, Harun memilih tak berkomentar panjang. Menyusul itu merupakan materi pokok perkara.

Ia kembali menegaskan, kasus ini terus berproses. “Nanti itu. Itu sudah masuk pokok perkara,” tegasnya.

Penetapan Tersangka

Dalam kasus ini, penyidik Pidsus Kejari Mataram menetapkan empat orang sebagai tersangka pada Jumat, 14 November 2025. Mereka adalah anggota DPRD Lombok Barat inisial AZ. Kemudian, dua ASN Pemda Lombok Barat Hj. DD dan H. MZ. Terakhir pihak swasta inisial R.

Penyidik menahan tersangka H. AZ dan Tersangka R sudah di Lapas Kelas III Kuripan Lombok Barat. Sementara Hj. DD, dan H. MZ belum pihaknya lakukan penahanan.

Menurut Harun, belum ditahannya dua ASN Pemda Lombok Barat tersebut berkaitan dengan langkah penyidik. “Masih ada langkah strategis. Yang penting perkara tetap jalan,” ucapnya.

Sebagai informasi, kasus ini mulai ketika Dinas Sosial Lombok Barat menganggarkan kegiatan belanja barang untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat pada tahun 2024. Nilainya Rp22,2 miliar.

Belanja itu terbagi menjadi 143 kegiatan. 100 di antaranya merupakan Pokir anggota DPRD Lombok Barat. 10 paket khusus untuk tersangka AZ senilai Rp2 miliar. Ia menempatkannya di Bidang Pemberdayaan Sosial sebanyak 8 paket dan Bidang Rehabilitasi Sosial sebanyak 2 paket.

Peran Keempat Tersangka

Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhyana mengatakan, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) AZ adalah melakukan intervensi terhadap proses pengadaan barang untuk diserahkan kepada masyarakat. Padahal itu merupakan bagian dari pejabat pengadaan maupun PPK/KPA.

“Melakukan pembelanjaan sendiri terhadap kegiatan pemerintah daerah. Sehingga mengaburkan peran penyedia barang/jasa dan melanggar asas pengadaan,” bebernya.

Kemudian, mengatur dan menunjuk sendiri penyedia (tersangka R) untuk menjadi pemenang. Lalu memerintahkan pembuatan proposal fiktif dan mark-up jumlah penerima manfaat.

“Melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan melibatkan diri dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah. Seharusnya bersifat eksekutif, bukan legislatif,” bebernya.

Sementara peran R, bersedia ditunjuk secara langsung tanpa proses pengadaan yang sah (pengaturan pemenang). Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak, membiarkan pihak lain (AZ) melaksanakan pekerjaan sepenuhnya.

Hanya bertindak sebagai “bendera” atau penyedia fiktif dan tetap menerima keuntungan 5 persen. “Sehingga terjadi moral hazard dan perbuatan memperkaya diri sendiri tanpa dasar hukum,” ucapnya.

Sementara tersangka Hj. DD dan H. MZ, tidak melakukan survei harga dalam menyusun HPS hanya berdasarkan ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga (SSH) Kabupaten Lombok Barat 2023.

Akibatnya, harga yang PPK/KPA tetapkan dalam kontrak jauh lebih mahal dari harga pasar. Sehingga mengakibatkan terjadinya kemahalan harga.

“Melakukan pengaturan pemenang bersama Tersangka H. AZ, dengan menunjuk langsung penyedia tertentu (tersangka R),” tegasnya.

Lalu tidak melakukan pengendalian kontrak dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. Pekerjaan pun tidak sesuai dengan SPK atau kontrak.

“Menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan,” katanya.

Kerugian Negara Rp1,7 Miliar

Akibat perbuatan tersangka, muncul kerugian negara senilai Rp1,7 miliar. Angka itu berdasarkan
laporan hasil audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Inspektorat Lombok Barat.

Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) , Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. (*)

Berita Terkait

Back to top button