Daerah NTB

Dou Kawuwu: Kisah Roni, Anak Petani yang Jadi Wisudawan Terbaik STKIP Tamsis

Di tengah teriknya matahari Langgudu, suara cangkul dan desah napas para petani masih akrab di telinga Roni Muliadin. Dari sanalah, semangatnya ditempa, dari lumpur sawah dan kerja keras seorang ayah. Kini, perjuangan itu berbuah manis: Roni menjadi wisudawan terbaik Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) STKIP Taman Siswa Bima, dengan IPK 3,83.


Pemuda kelahiran Bima, 6 Oktober 2000 itu adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya, Ajudan, seorang petani sederhana dari Desa Kawuwu, Kecamatan Langgudu, dan ibunya, Fatmah, seorang ibu rumah tangga. Dari keluarga yang hidup serba pas-pasan, Roni tumbuh dengan tekad untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berprestasi.

“Sejak SMP saya sudah terbiasa membantu bapak di sawah. Kadang pulang sekolah langsung ke kebun,” kisahnya dengan nada lembut. “Alhamdulillah, bisa sedikit meringankan beban orang tua.”

Namun, di balik kerja keras di ladang, Roni juga tekun di ruang kelas. Sejak SMP hingga SMA, ia kerap menempati peringkat dua atau tiga besar di kelas, bahkan pernah mengikuti Olimpiade Ibnu Sina. Tapi, siapa sangka, justru di dunia olahraga ia menemukan panggilan hidupnya.

Prestasi dari Lapangan Petanque ke Podium Wisuda

Saat menempuh pendidikan di STKIP Taman Siswa Bima, Kampus Merah, Roni menemukan wadah untuk menyalurkan bakat dan semangat kompetisinya. Ia berhasil mewakili Kabupaten Bima dalam Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) NTB 2022 cabang olahraga Petanque, dan berhasil membawa pulang medali perunggu.

Alhamdulillah bisa juara tiga. Saya juga pernah ikut seleksi pra-PON untuk mewakili NTB,” ujarnya bangga, mengenang perjuangan panjang di bawah panas matahari lapangan.

Keberhasilan itu bukan datang tiba-tiba. Di sela padatnya jadwal kuliah, ia tak pernah meninggalkan latihan. “Kadang latihan pagi, lanjut kuliah siang, dan malamnya belajar. Tapi saya nikmati,” ucapnya sambil tersenyum.

Tempat Nyaman Bernama Kampus Merah

Roni mengaku, keputusan memilih STKIP Taman Siswa Bima adalah langkah terbaik dalam hidupnya. “Selain kampusnya bagus, dosen-dosennya luar biasa. Banyak yang sudah bergelar doktor,” tuturnya.

Bagi Roni, suasana belajar yang hangat dan interaktif membuatnya betah menimba ilmu di sana. Diskusi dengan dosen, praktik di lapangan, dan kerja sama dengan rekan mahasiswa menjadi pengalaman yang ia sebut “tak ternilai”.

“Empat tahun di Taman Siswa, saya merasa nyaman dan bahagia. Banyak pelajaran hidup yang saya dapat, bukan hanya akademik, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya.

Dibantu Beasiswa, Dibimbing Harapan

Perjalanan akademik Roni tak lepas dari keberkahan beasiswa KIP Kuliah yang ia terima sejak semester pertama hingga akhir. Bantuan itu menjadi penyelamat di tengah keterbatasan finansial keluarga. “Kalau bukan karena beasiswa, mungkin saya tidak akan bisa kuliah,” katanya lirih.

Berbekal semangat dan dukungan keluarga, Roni menjalani masa kuliahnya tanpa harus bekerja paruh waktu. Fokusnya hanya satu: menuntaskan pendidikan sebaik mungkin agar bisa membahagiakan kedua orang tua.

Kini, menjelang prosesi wisuda yang akan digelar 1 November 2025, Roni tengah menatap babak baru hidupnya. Ia berencana melanjutkan ke Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan dan bercita-cita menjadi guru olahraga yang menginspirasi anak-anak di daerahnya.

Insya Allah jika ada umur panjang dan rezeki, saya ingin lanjut PPG. Saya ingin jadi guru yang bisa menyalakan semangat anak muda seperti saya dulu,” ujarnya penuh harap.

Harapan untuk Negeri dan Daerahnya

Di balik kesuksesan pribadi, Roni menyimpan keprihatinan terhadap kondisi sosial di lingkungannya. Ia menyoroti minimnya lapangan pekerjaan di Bima dan berharap agar pemerintah memberi ruang lebih luas bagi lulusan muda untuk berkembang.

“Banyak anak muda yang pintar tapi belum punya kesempatan kerja yang layak. Pemerintah perlu membuka lebih banyak peluang agar kami bisa berkontribusi,” katanya.

Perjalanan Roni Muliadin adalah kisah tentang ketekunan, cinta keluarga, dan semangat untuk terus maju, sekaligus pengingat bahwa perjuangan tidak selalu berawal dari ruang kuliah atau panggung besar. Dimulai dari lumpur sawah, doa ibu, dan kerja keras yang tak pernah henti. (*)

Berita Terkait

Back to top button