ADVERTORIALLingkungan

Pengelolaan Sampah di Gili Tramena Butuh Rp31 Miliar

Mataram (NTBSatu) – Ledakan wisatawan di kawasan Gili Trawangan, Meno, dan Air (Tramena) mulai menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan.

Fenomena mass tourism atau pariwisata massal yang kembali menggeliat pasca pandemi, membuat tumpukan sampah di pulau-pulau kecil itu kian sulit terkendali.

Data Dinas Pariwisata Provinsi NTB mencatat, jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Gili Tramena melonjak dari 509.034 orang pada 2023 menjadi 773.184 orang pada 2024, atau naik lebih dari 52 persen.

Angka ini hampir menyamai rekor tertinggi sebelum pandemi pada 2017 yang mencapai 801.964 wisatawan.

Lonjakan wisatawan ini memang mendongkrak ekonomi masyarakat, namun di sisi lain turut meningkatkan tekanan terhadap lingkungan, terutama dalam pengelolaan limbah rumah tangga, hotel, dan aktivitas wisata.

Sampah 18 Ton per Hari, Baru 7 Ton Terolah

Berdasarkan data bidang persampahan, volume sampah di satu kawasan Gili, yaitu Gili Trawangan mencapai 12 hingga 18 ton per hari.

Dari jumlah itu, baru sekitar 7 ton per hari yang berhasil diolah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Gili Trawangan.

Sisa sampah lainnya masih dibuang dengan sistem open dumping, termasuk di lahan terbuka dan area pesisir. Kondisi ini menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem laut, karena limbah padat dan cair terbawa arus hingga menutupi terumbu karang.

“Kendaraan pengangkut di Gili ini kan terbatas, rata-rata hanya roda tiga. Jadi kapasitas olahnya kecil, kalau tidak dikendalikan, sampah di darat bisa berakhir di laut dan merusak ekosistem,” ujar Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB, Ahmadi, Rabu, 8 Oktober 2025.

Lahan Pembuangan Penuh, Bubur Sampah Mengandung Metana

Saat ini, pengelolaan sampah oleh UPT BLUD bekerja sama dengan Front Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL). Tenaga kerja lapangan hanya 23 orang, terdiri atas 7 Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan 16 Tenaga Harian Lepas (THL).

Namun, persoalan tak berhenti di SDM. Lahan pembuangan sementara hanya 25 are dari pemerintah, dan kini sudah penuh.

“Kami bahkan pakai tambahan 44 are lahan pribadi milik warga untuk menampung sisa pembakaran sampah, tapi itu juga hampir penuh,” ujar Ketua FMPL Gili Trawangan, Malik.

TPST Gili Trawangan menggunakan teknologi Integrated Waste Processing (IWP) yang menghasilkan bubur dari sampah basah. Namun, hasil olahan organik belum bisa dimanfaatkan.

“Kami butuh alat tambahan untuk mengolah bubur ini jadi kompos. Selama ini bubur masih mengandung gas metana, jadi masyarakat tidak berani memakainya,” ungkapnya.

Solusi Pemerintah: Tambah SDM dan Fasilitas

Bappeda Kabuapten Lombok Utara memperkirakan kebutuhan anggaran untuk mengelola sampah di tiga Gili mencapai Rp31 miliar. Dana itu untuk menambah, alat pengangkut, memperluas area pengelolaan, dan meningkatkan kapasitas TPST.

Karena keterbatasan anggaran, Ahmadi mengatakan, pemerintah terlebih dahulu tengah menyiapkan langkah jangka menengah untuk memperkuat sistem pengelolaan.

“Kami upayakan akan akan menambah SDM, memperkuat pola kerja shift, dan melengkapi alat agar semua sampah bisa menjadi pupuk organik,” tegasnya.

Melihat jumlah wisatawan yang terus meningkat dan nilai ekonomi yang besar, maka kebersihan Gili Tramena kini menjadi urgensi seluruh pihak.

“Gili ini kebanggaan NTB. Kita ingin wisata tumbuh, tapi lautnya juga tetap hidup,” kata Ahmadi. (*)

Berita Terkait

Back to top button