Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
ADVERTORIALPemerintahan

DLHK NTB Targetkan Restorasi 15 Titik Rawan Longsor dan Banjir Bandang

Mataram (NTBSatu) – Ancaman bencana ekologis di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus meningkat seiring perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya curah hujan ekstrem.

Analisis KLHS RPJMD 2025–2029 menunjukkan kecenderungan meningkatnya kejadian banjir bandang, tanah longsor, dan banjir rob pada beberapa wilayah yang memiliki degradasi tutupan lahan. Tren ini diperkuat oleh data tutupan hutan yang menunjukkan NTB memiliki lebih banyak hutan sekunder daripada hutan primer. Yaitu 542.591 hektare hutan sekunder dan 304.383 hektare hutan primer. Ketimpangan ini mengindikasikan adanya tekanan serius terhadap ekosistem hulu.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB merespons lonjakan risiko tersebut melalui program pengurangan risiko bencana ekologis yang masuk ke dalam Kegiatan Strategis RPJMD. Program ini menyasar 15 titik rawan bencana. Mulai dari wilayah pegunungan Lombok Utara, Kawasan Hutan Batulanteh di Sumbawa, hingga bukit-bukit kritis di Bima dan Dompu. Pemilihan titik-titik ini berdasarkan analisis kombinasi lahan kritis, riwayat banjir, kondisi geomorfologi, dan tingkat hilangnya vegetasi penyangga.

Targetkan Restorasi Sepanjang Jalur Sungai

Plt Kepala DLHK NTB, Ir. Ahmadi, menjelaskan, bencana ekologis bukan hanya akibat alam, tetapi juga kesalahan pola pemakaian ruang.

“Bencana sering kali lahir dari buruknya tata kelola lingkungan. Ketika terjadi penebangan hutan, ketika lereng digarap sembarangan, ketika sungai dipersempit, risikonya pasti langsung dirasakan. NTB harus memperbaiki pola pembangunan agar lebih tunduk pada kaidah ekologis,” ucapnya, Jumat, 5 Desember 2025.

Penanganan berbasis ekosistem menjadi pendekatan utama melalui rehabilitasi tanaman keras, pembangunan sabuk hijau, dan penguatan vegetasi penahan erosi. DLHK menargetkan restorasi di sepanjang jalur-jalur sungai yang berpotensi banjir bandang, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Moyo, Ragi, Dodokan, dan Kambu.

Ahmadi menambahkan, aktivitas melindungi kawasan rawan bencana adalah investasi jangka panjang. “Setiap rupiah yang kita gunakan untuk pencegahan kerusakan alam akan menghemat puluhan kali lipat biaya penanganan bencana. Pencegahan jauh lebih murah daripada pemulihan,” tegasnya.

DLHK juga memperkuat kemitraan dengan desa-desa rawan bencana melalui program Desa Tangguh Ekosistem. Desa mendapat pendampingan untuk membuat rencana pengelolaan lahan, pemetaan risiko, serta pemberdayaan kelompok penanam pohon. Selain itu, pendekatan teknologi informasi melalui dashboard peringatan dini akan dipadukan dengan pengawasan berbasis satelit. (*)

Berita Terkait

Back to top button