Negara Membiarkan Hutan Gundul, Rakyat Dihanyutkan: Jejak Bencana dari Aceh hingga Sumatra
Oleh Irsan – Kepala Bidang PTKP HMI Komisariat Nurcholish Madjid
Banjir yang melanda Aceh serta beberapa lokasi di Sumatra baru-baru ini bukan hanya sekadar bencana tahunan. Ini mencerminkan dengan jelas kegagalan negara dalam menjaga keberadaan hutan. Banjir yang merusak infrastruktur, merendam permukiman, dan menghilangkan banyak nyawa penduduk tidak disebabkan hanya oleh curah hujan tetapi oleh kebijakan yang mengizinkan penebangan hutan demi kepentingan ekonomi dan sikap acuh yang memalukan dari pemerintah.
Contoh dapat dilihat di Aceh. Dalam periode dua tahun terakhir, luas hutan di provinsi tersebut mengalami penurunan drastis. Data dari MapBiomas menunjukkan bahwa angka deforestasi meningkat hampir tiga kali lipat, mencapai puluhan ribu hektare hanya dalam rentang waktu 2024–2025. Ketika hujan lebat terjadi di akhir tahun, tanah tidak lagi mampu menyerap air seperti sebelumnya.
Area hulu yang tidak terjaga berubah menjadi saluran besar yang mengantarkan banjir ke pemukiman. Desa-desa di Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang mengalami kerusakan parah, ribuan penduduk terpaksa mengungsi, dan lumpur yang dipenuhi kayu gelondongan menimbun sejumlah rumah. Kayu-kayu yang terhanyut itu menjadi bukti jelas bahwa penebangan hutan terjadi, bukan akibat proses alami.
Situasi serupa juga terjadi di Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Di wilayah Mandailing Natal, Nagan Raya, Pesisir Selatan, dan Agam setiap kali banjir melanda, masyarakat menemukan kayu gelondongan berserakan di sepanjang sungai dan jalan.
Penyelidikan WALHI bahkan menyatakan bahwa tumpukan kayu yang terbawa arus banjir tidak mungkin berasal dari aktivitas yang legal. Ini adalah hasil dari eksploitasi yang sudah lama terjaga dan tertutupi. Ketika wilayah hulu rusak dan daerah aliran sungai kehilangan perlindungan vegetasi, air bah hanya membutuhkan satu malam untuk menghancurkan desa-desa yang sebelumnya aman.
Namun pemerintah tetap tidak memperhatikan. Cerita yang disampaikan selalu tidak berubah: hujan berlebih, kejadian cuaca aneh, faktor alam. Seolah-olah, intensitas hujan menjadi biang masalah, bukan izin tambang, bukan ekspansi tanaman sawit, dan bukan pula pembiaran terhadap penebangan liar. Padahal, bencana-bencana ini secara jelas menunjukkan kelalaian negara dalam mengelola ruang hidup warga. Sungai yang meluap menggambarkan keterlibatan negara baik melalui izin yang sembrono maupun pengawasan yang kurang.
Keadaan inilah yang memicu kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk organisasi mahasiswa. Irsan, Kepala Bidang PTKP HMI Komisariat Nurcholish Madjid, memberikan pernyataan tegas yang seharusnya mengguncang para pengambil keputusan:
“Kami memberikan kecaman keras terhadap pembiaran negara atas deforestasi yang berlangsung di Aceh dan banyak daerah di Sumatra. Banjir yang merenggut nyawa warga bukanlah akibat hujan, melainkan kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebijakan yang menguntungkan perusahaan dan kalangan elit. Pemerintah harus menanggung tanggung jawab sepenuhnya. ”
Irsan menambahkan bahwa tumpukan kayu yang hanyut saat banjir merupakan bukti pelanggaran ekologis yang selama ini diabaikan:
“Ketika warga menemukan kayu-kayu besar mengapung di sungai setelah banjir, itu bukanlah fenomena alam. Itu adalah jejak dari kejahatan ekologi yang diizinkan oleh negara. Jika pemerintah tidak berani mengambil tindakan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan, maka pemerintahlah yang terlibat dalam kerusakan itu.”
Ia menekankan bahwa HMI akan terus mendorong evaluasi menyeluruh terhadap semua izin konsesi di daerah rawan bencana, khususnya di Aceh dan Sumatra. Revisi kebijakan kehutanan, penguatan penegakan hukum, serta memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mulai mengelola hutan kembali adalah tuntutan yang tidak dapat ditawar.
Banjir yang melanda hari ini menjadi pengingat yang tegas bahwa negara tidak seharusnya terus menyembunyikan diri di balik ucapan tentang pembangunan dan tawaran yang manis seperti ketahanan energi dan pangan. Hutan merupakan perlindungan terakhir bagi masyarakat. Bila perlindungan ini dihancurkan demi kepentingan sesaat, maka banjir, tanah longsor, dan kematian akan menjadi sesuatu yang rutin terjadi setiap tahun.
Pada dasarnya, negara yang membiarkan hutan musnah adalah negara yang membiarkan warganya mati secara perlahan dan semua itu nyata terpampang jelas di hadapan kita hari ini. (*)



