Gerakan “Save Rinjani” Deklarasi Penolakan Komersialisasi Kawasan Konservasi

Mataram (NTBSatu) – Komunitas pecinta alam dan masyarakat adat mendeklarasikan Gerakan “Save Rinjani” dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 RI di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, Minggu, 17 Agustus 2025.
Mapala Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Mataram (Unram), menggagas kegiatan ini sebagai bentuk penolakan atas komersialisasi kawasan konservasi. Rangkaian kegiatan ini berupa pendakian ke Pos II, sarasehan, dan upacara bendera.
Berbagai komunitas hadir dalam forum ini, termasuk Aliansi Rinjani Bagus dan SembaluNina, komunitas perempuan dari Sembalun yang mewakili suara masyarakat lokal.
Dalam diskusi yang berlangsung, para aliansi mengkritik pengelolaan kawasan konservasi Gunung Rinjani. Mereka menilai, pengelolaan saat ini lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada prinsip pelestarian.
Komersialisasi dianggap mengabaikan nilai-nilai sosial dan ekologis yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat.
“Bagi wisatawan, Rinjani hanya destinasi. Bagi pemerintah, ia hanya sumber retribusi. Tapi bagi masyarakat, Rinjani adalah ibu dan rumah,” ungkap Ketua Komunitas SembaluNina, Baiq Sri Mulya alias Lia.
Forum juga menyebut komersialisasi Rinjani sebagai bagian dari persoalan nasional yang lebih luas.
“Kemarin Sangihe dan Raja Ampat, hari ini Rinjani. Berapa lagi yang harus rusak sebelum kita sadar?” Ujar Ketua Aliansi Rinjani Bagus, Lalu Sapta.
Gerakan Save Rinjani menyampaikan tiga tuntutan utama: menghapus logo-logo brand komersial dari rambu-rambu pendakian, mengembalikan kawasan Segara Anak sebagai Zona Inti, serta menuntut Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dan Geopark Rinjani-Lombok secara terbuka menolak segala bentuk komersialisasi.
“Merdeka bukan hanya lepas dari penjajahan politik, tapi juga dari penjajahan ekonomi dan ekologi,” ujar Ketua Mapala FE Unram, Dede.
Gerakan ini berkomitmen melanjutkan perjuangan melalui aksi media, advokasi kebijakan, dan penguatan peran masyarakat adat sebagai pemilik sah kawasan.
Mereka juga menyerukan dukungan dari DPRD NTB, DPR RI, serta Pemerintah Provinsi NTB untuk menghentikan komersialisasi yang merusak lingkungan dan budaya lokal. (*)