Mataram (NTBSatu) – Perempuan di Kota Mataram diduga “menjual” adik kandungnya berusia di bawah umur kepada lelaki hidung belang.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi menyebut, korban saat kejadian masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Kakak beradik ini sama-sama berjenis kelamin perempuan.
Sang kakak usia 22 tahun tersebut menjual adiknya jutaan rupiah. Hasil tersebut mereka bagi dua.
“Kisaran jutaan, masih satu digit,” katanya, Rabu, 14 Mei 2025.
Kejadiannya terjadi sekitar Juni-Juli tahun 2024 lalu. Dari kejadian itu korban hamil. Ia melahirkan bayi prematur seberat 1,7 kilogram beberapa Minggu lalu.
Joko menyebut, kondisi korban kini dalam fase pemulihan. “Korban sedang pemulihan di rumah aman. Kalau bayinya masih di NICU,” ujar akademisi Universitas Mataram (Unram) ini.
Meski tak menjelaskan secara detail, namun LPA Kota Mataram telah mengadukan kejadian ini kepada pihak kepolisan. Aparat Penegak Hukum (APH) tengah melakukan pendalaman.
Salah satu yang diburu adalah terduga pelaku persetubuhan kepada korban usia 14 tahun tersebut. “Satu orang pelakunya, kita masih mencari pelaku yang booking,” tegasnya.
Fenomena Open BO di NTB
Joko mengaku, kasus open BO di NTB kian mengkhawatirkan. Di Kota Mataram saja, tercatat lima kasus yang dilaporkan sepanjang 2025. Empat di antarnya sudah berproses di kepolisian.
“Di situ, ada pelaku juga ada korban. Ini menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, hanya muncul hanya Ladies Companion (LC) yang hanya menemani meminum miras. Namun kini muncul secara terang-terangan hingga kepada prostitusi.
Berdasarkan penelusuran LPA Kota Mataram, salah satu penyebabnya adalah muncul dari keluarga yang bermasalah. Alasan lain adalah tingginya gaya hidup dengan ekonomi yang tidak sesuai.
“Ini sebagian besar yang kita hadapi keluarga bermasalah. Tuntutan gaya hidup semakin, ya, lihat teman-teman pakai hp bagus, mau. Tapi pengawasan kurang,” beber Joko, yang juga tergabung dalam Sahabat Saksi dan Korban NTB ini.
Belum lagi lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan APH. Hal itu terlihat dari maraknya hotel atau tempat penginapan, namun kurangnya patroli rutin.
Namun di sisi lain, daerah juga membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Dan hotel-hotel tersebut penghasilan utamanya berasal dari “tamu” tersebut.
“Secara regulasi, pemerintah daerah tidak berani mengambil sikap. Umpannya hotel ini ketahuan (sebagai tempat prostitusi) diberikan sanksi. Misal, izinya dicabut sementara,” ucapnya.
Dengan begitu, sambung Joko, pemerintah bisa meminimalisir maraknya fenomena open BO di NTB, khususnya di Kota Mataram. (*)