Mataram (NTBSatu) – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, pada tahun 2023 Provinsi NTB menjadi daerah dengan jumlah permohonan perlindungan terbanyak kedua untuk perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Jumlah pemohon mencapai 179 kasus.
Tak hanya kasus TPPO, angka kasus perkawinan anak juga menjadi sorotan. Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama NTB pada tahun 2023, terdapat 723 dispensasi pernikahan di bawah umur. Jumlah tersebut lebih tinggi pada tahun 2021 dengan 1.127 kasus.
Berangkat dari itu, Ketua LPSK, Achmadi mendorong, agar masyarakat NTB segera melaporkan jika melihat atau merasakan kasus tindak pidana. Terutama, kasus kekerasan seksual.
“Tidak usah ragu dalam mengajukan permohonan perlindungan atau bantuan, selain juga melapor kepada penegak hukum. Kami (LPSK) siap merespons laporan tersebut,” kata Achmadi di Mataram, Jumat, 25 Oktober 2024.
Prioritaskan Pembentukan SSK di NTB
Untuk meningkatkan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK memprioritaskan pembentukan relawan Sahabat Saksi dan Korban (SSK) di NTB. Hal ini karena jumlah permohonan perlindungan kasus kekerasan di NTB masuk kategori tinggi.
“Kami harapkan SSK ini dapat mendukung layanan LPSK agar lebih cepat dan mudah diakses, mengingat LPSK hanya memiliki kantor di tingkat pusat,” harapnya.
SSK nantinya, lanjut Achmadi, akan memfasilitasi saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan, mendiseminasi nilai-nilai perlindungan. Serta, memberikan dukungan melalui pendekatan restoratif.
Program ini melibatkan kolaborasi dengan penyintas tangguh yang akan membantu mendiseminasi layanan dan mendukung akses layanan perlindungan bagi korban.
“Adanya program SSK di NTB, kita berharap proses pelayanan bagi saksi dan korban di wilayah tersebut akan semakin cepat, tepat, dan mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan,” terang Achmadi.
Achmadi menekankan pentingnya sinergi antara LPSK, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya dalam mengatasi kasus TPPO, perkawinan anak, dan berbagai masalah sosial yang mendasari kasus pidana di NTB.
“Perlindungan bagi saksi dan korban tidak dapat ditangani oleh LPSK sendiri, karena melibatkan aspek sosial yang kompleks. Kolaborasi menjadi kunci dalam memastikan perlindungan ini dapat terlaksana dengan baik,” pungkasnya.
Sebagai informasi, terdapat sejumlah kekerasan yang menjadi prioritas LPSK. Di antaranya, perdagangan orang, kekerasan seksual atau kekerasan seksual anak, korupsi, penyiksaan, narkotika, penganiayaan berat, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, terorisme, dan tindak pidana lain terkait ancaman jiwa. (*)